JAKARTA, TODAY — Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (KemenÂristekdikti) menegasÂkan akan berusaha meningkatkan penÂdidikan tinggi. Salah satunya dengan memperbaiki akrediÂtas sejumlah PerguÂruan Tinggi (PT).
Menteri RiÂset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menri stekdikti ) , Mohamad Nasir menjelaskan, masih terdapat 3.422 PT yang masih belum terakreditasi. “SeÂmentara total PT saat ini adalah 4.274,†ujar Nasir di Gedung D Dikti Senayan, Jakarta, Jumat (1/1/2016).
Untuk yang sudah terakreditasi, Nasir menerangkan, jumlahnya baru 852 PT. Nasir juga menambahkan ihwal masih banyaknya program studi yang belum terakreditas. Dari 21.657 Program Studi (Prodi), hanya 19.047 Prodi yang sudah terakredirasi. Hal-hal inilah yang akan dicoba diselesaikan hingga akhir 2016 mendatang. Di samping itu, Mantan Rektor Universitas Diponegoro (Undip) ini menjelaskan, pihaknya juga akan berusaha agar PT-PT Indonesia bisa mendapatkan akreditas internasional ke depannya.
Hingga saat ini, hanya lima PT yang mampu mencapai kancah tersebut. KeÂlima PT negeri tersebut, yakni Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut PerÂtanian Bogor (IPB), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Brawijaya (Unibraw). “Sementara yang swasta baru UniversiÂtas Binus,†kata Nasir.
Kemenristekdikti juga mewaÂcanakan akan mengubah atau menyeÂderhanakan sistem penilaian akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Semula, akreditasi ditandai dengan huruf mutu A, B, dan C, sedangkan usulan baru lebih sederÂhana menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi.
“Pembedanya nanti tidak lagi nilai A, B, C, tetapi masa berlaku akreditasi tersebut. Misalnya, perguruan tinggi yang mendapat nilai akreditasi setara dengan A memiliki masa berlaku akreÂditasi tersebut selama tujuh tahun, untuk yang terakreditasi dengan nilai setara B memiliki masa berlaku empat tahun, dan yang setara dengan C memiÂliki masa berlaku dua tahun. Selama ini semua masa berlaku akreditasi A, B, C sama, yaitu lima tahun,†ujar Direktur Pembinaan Kelembagaan Dikti KemÂristekdikti Dr Totok Prasetyo BEng MT.
Menurut Totok, penilaian dengan huruf mutu sering membuat perguÂruan tinggi terakreditasi C mengalami berbagai kendala. Mahasiswa mereka selama ini sangat susah untuk masuk seleksi pegawai negeri sipil (PNS).
Selain itu, tambah mantan Direktur Politeknik Negeri Semarang (Polines) ini, perguruan tinggi negeri (PTN) yang relatif baru berdiri bisa saja mendapatÂkan nilai akreditasi setara dengan B atau C, tidak harus dimulai dari C, asalÂkan memenuhi semua yang disyaratÂkan. Selama ini nilai untuk perguruan tinggi baru dipastikan C (jikaterakreÂditasi) karena ada sebagian borang penilaian yang menanyakan tentang mahasiswa dan alumni. Tentu saja hal itu sulit dipenuhi karena PT tersebut masih baru dan belum meluluskan.
“Sebaiknya kriteria menyangkut mahasiswa dan alumni diganti menÂjadi kriteria manajemen atau yang lainÂnya sehingga PT baru memungkinkan dapat nilai B atau A,†tandas Totok.
Usulan dilontarkan Ketua Umum Aptisi, Dr Edy Suandi Hamid Mec. Menurutnya, pemerintah seharusnya menstimulus perguruan-perguruan tinggi yang sudah relatif baik di daeÂrahnya untuk membina perguruan tinggi yang nilai akreditasinya lebih rendah. Semangat kerjasama ini perlu dibangun agar pemerintah tidak keÂberatan beban dalam melakukan pemÂbinaan pada semua perguruan tinggi yang ada, khususnya perguruan tinggi swasta (PTS). Tentu saja perlu ada inÂsentif yang diberikan kepada perguruÂan tinggi yang diberi tugas melakukan pembinaan ini.
Edy menyebutkan, komitmen terÂhadap sistem akreditasi yang bersifat nasional juga memerlukan komitmen negara. Dengan begitu, akreditasi mendapat pengakuan yang sama oleh semua elemen bangsa. “Hal ini diperÂlukan mengingat dalam praktik masih banyak yang tidak faham tentang akreÂditasi ini sehingga menempatkannya secara dikotomis negeri dan swasta,†ujar Edy.
Akibatnya, lanjut Edy, muncul perÂlakuan yang diskriminatif, tidak adil, menutup akses ke lapangan kerja, dan merugikan banyak pihak, termasuk para alumni perguruan tinggi.
Edy mengakui, BAN bisa menjadi cukup berwibawa, di samping melakuÂkan kerja cukup profesional, juga tidak melakukan pungutan apa pun kepada perguruan tinggi. Ini juga merupakan bentuk tanggung jawab atau bentuk komitmen fiskal pemerintah, yang meÂwajibkan akreditasi, dan menanggung beban biayanya. Karena itu, Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang ada seÂharusnya tinggal melanjutkan pola BAN ini, semua biaya ditanggung pemerÂintah. “Pola dengan penarikan biaya seperti yang dilakukan sekarang untuk akreditasi prodi bukan saja menambah beban perguruan tinggi. Namun bisa menimbulkan ekses yang tidak menÂguntungkan dalam menghasilkan akreÂditasi yang bermutu,†tandasnya.
Di Bogor, Universitas Pakuan (UnÂpak) juga berpeluang menjadi kampus berstatus negeri. Namun, rencana ini gaÂgal lantaran pihak manajemen kampus meminta agar ditunda. “Kami sudah diÂminta kopertis. Tapi, sengaja kami tolak karena yayasan tidak mampu membayar pesangon dosen yang aktif saat ini,†kata Rektor Unpak Bogor, Bibin Rubini, keÂmarin.
(Yuska Apitya Aji)