Hancurnya harga minyakdunia, ternyatabedampak burukbagi bisnis pesawat carter. Sebab, 50 persen penggunapesawatjet carter adalah perusahaanminyak, gas, dan pertambangan.
Oleh : Alfian Mujani
[email protected]
Seperti diketahui, harga minÂyak dunia anjlok hingga di bawah USD 40 per barel. “Memang penurunan harga minyak dan batu bara pertambanÂgan ini, berdampak pada efisiensi dari operasional perusahan pertamÂbangan dan migas. Tentu ini berÂpengaruh ke pesawat carter, karena 50% dari bisnis carter market share-nya dari oil and gas,†ungkap Denon Prawiraatmadja, Ketua Penerbangan Tidak Berjadwal, INACA, saat mengÂhadiri jumpa pers INACA, di Gedung Garuda, Kebon Sirih, Jakarta Jumat, (8/1/2016).
Hal ini dibuktikan dengan berkurangnya jam sewa per bulan untuk pesawat dan helikopter carter. “Average (rata-rata sewa) pesawat jet di 2014 itu 30 jam dan di 2015 itu 15 jam, sedangkan helikopter tahun 2014 itu 40 jam, dan di 2015 jadi 30 jam,†ujarnya.
Meskipun industri pesawat carter lesu di 2015, INACA mencatat tidak ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri penerbangan tidak berjadwal. “Berkurang memang tapi tidak rugi, mudah-mudahan nggak ada PHK,†jelasnya.
Pada 2016, industri bisnis pesawat carter membidik sektor pariwisata sebagai solusi lesunya industri miÂgas di 2015. Tercatat maskapai tidak berjadwal akan menambah armada, untuk mendukung rencana ekspansi di sektor pariwisata.
“Penambahan di wilayah tourÂism ada 10-12 fix wings, heli untuk city transport Jakarta-Cirebon ada penambahan 6 helikopter baru di 2016,†tutupnya.
Harga Avtur Turun
Penurunan harga bahan bakar pesawat alias avtur beberapa wakÂtu lalu, ternyata juga tak banyak menolong bisnis pesawat carter. Apalagi harganya masih lebih maÂhal 8% dibandingkan harga avtur di negara lain seperti di SingaÂpura.
Perbandingan yang dipakai ialah antara Bandara Internasional SoekÂarno Hatta dan Changi Airport. “Beda sebelumnya sampai 12% kemudian Pertamina turunkan avÂtur di Bandara Soetta sekitar 5%, sehingga masih beda 7-8%. Di lain pihak atau di luar Bandara Soetta ada kenaikan 1-2%,†kata Tengku Burhanuddin.
Dengan adanya perbedaan ini, tentunya maskapai Indonesia masih belum kompetitif dibandingkan masÂkapai negeri tetangga. Apalagi, masÂkapai Indonesia menghadapi ASEAN Open Sky atau liberalisasi angkutan udara yang berlaku tahun ini. AlhaÂsil, maskapai yang efisien dari sisi biaya akan lebih unggul.
Maskapai, lanjut Tengku, juga mendengar adanya opsi pungutan biaya ketahanan energi terhadap avtur oleh Kementerian ESDM. PunÂgutan tersebut bila terealisasi bisa menaikkan beban maskapai. WalauÂpun akhirnya, rencana ‘pengutan’ BBM ini ditunda. Harga avtur sendiri berkontribusi 50% terhadap biaya operasional maskapai.
“Dengan biaya pungutan lebih tinggi bisa beratkan maskapai. Kalau ada pungutan Rp 200 per liter, kita nggak bisa bersaing,†tambahnya.
Maskapai penerbangan kemÂbali mengeluhkan masih mahalÂnya harga bahan bakar pesawat alias avtur 7%-8% dibanding di Singapura. Menurut PT PertamiÂna (Persero), selisih 8% tersebut merupakan hal yang wajar. “Avtur kita lebih mahal 7% dengan SingaÂpura itu sih normal,†kata DirekÂtur Pemasaran Pertamina, Ahmad Bambang, kepada detikFinance, Jumat (8/1/2016).
Bambang menjelaskan, lebih maÂhalnya 7% harga avtur di Indonesia dibanding Singapura, disebabkan beberapa faktor.
Pertama, biaya transportasi (penÂgiriman) avtur dari kilang atau impor ke bandara. Kedua, skala bisnis atau volume penjualan avtur yang jauh lebih banyak di Bandara Changi, SinÂgapura, dibanding di Bandara SoekÂarno-Hatta, sehingga biaya per liter bisa lebih murah.
Ketiga, di Indonesia banyak ‘punÂgutan’, mulai dari PPN hingga biaya sewa peralatan dari pengelola banÂdara. “Nggak mungkin harga kita sama dengan Singapura, selama kilang kita juga belum secanggih Singapura. Posisi kilang kita tidak berdiri di sebelah bandara, volume penjualan belum sebesar Changi, serta masih kena pungutan,†ungkap Bambang.
Ia menambahkan, karena sulit menandingi harga avtur di SingaÂpura, Pertamina menargetkan harga avtur bisa sejajar dengan harga di Bangkok, Thailand, dan Kuala LumÂpur (KL), Malaysia.
“Makanya target kami adalah sejajar KL dan Bangkok, tapi sama Singapura selisihnya hanya sekitar 5-6%. Nanti kalau kilang kita sudah diremajakan semua, beda harga avÂtur dengan Singapura hanya 3-4% saja. Syukur-syukur bisa hanya beda sekitar 2-3% tergantung kecanggihan kilang nanti, itu pun bila pungutan-pungutan bisa diminimalkan,†tutup Bambang.