Gunung-SalakSALAH satu resep mujarab yang diterapkan Sri Baduga Maharaja dan Prabu Surawisesa dalam menjaga dan memelihara kedigjayaan Pajajaran dan men­jadi Pakuan (Bogor) sebagai sentra kendali pemerintahan adalah sikap dalam memerintah. Sikap tersebut terkorelasi dengan prinsip-prinsip tata kelola: “Panceg dina galur, babarengan ngajaga lembur. Salawasna akur jeung dulur.”

Oleh : Bang Sem Haesy

TEGUH pendirian me­melihara Pajajaran yang damai, dan mengem­bangkan karakter masyarakatnya yang ber­budi secara konsisten. Bersama-sama (bergo­tong royong) menjaga wilayah. Dan selamanya bersatu, harmonis den­gan sesama. Strateginya: reugreug pageuh repeh-rapih. Bersatu padu berkon­tribusi pada disiplin sosial. Terutama dalam menciptakan lingkungan sehat, lingkungan cer­das, dan lingkungan mampu (secara ekonomi).

Upaya menjaga hutan Gunung Salak, Gunung Gede, dan Gunung Pangrango di masanya, bukan tanpa sebab. Karena dalam konteks tata ruang, dilihat dari Bogor ke arah Su­kabumi, Cianjur, Lebak, Tangerang, Jakarta dan Bekasi terbentuk apa yang disebut Garuda Mupuk. Itulah yang disebut Gemuh Pakuan, yang pada era Ratu Dewata disebut seba­gai cacandran para buhun.

Dari sudut pandang Gemuh Pa­kuan, realitas Bogor dan kawasan sekitarnya merupakan ciri bumi panca tengah: Lemah lengkobna, lemah padataranana. Suatu wilayah kehidupan berdinding tebing, be­raliran sungai dan parit, luas ham­par datarannya laksana taman. Di tengahnya terdapat telaga besar dan Telaga Rancamaya, berhias pula telaga kecil yang dikenal se­bagai Telaga Warna. Kedua telaga ini menjadi bagian tak terpisah­kan dari keseluruhan alam pikir tentang wilayah konservasi untuk kepentingan kehidupan mereka yang berada di wilayah budi daya.

BACA JUGA :  Dijamin Bikin Nagih! Ini Dia Resep Kolang Kaling Saus Santan yang Sedap dan Mantap

Sekian masa kemudian, prinsip dasar pemeliharaan wilayah kon­servasi dijaga dengan patron mitolo­gis pemeliharaan alam yang kon­sisten untuk menghindari bencana. Karena bencana sebagai ‘ekspresi’ kemurkaan alam, mengikuti intuitive reason: gunung-gunung dibarubuh, tatangkalan dituaran, cai caah baba­njiran, bhuwana marudah montah.

Alam akan murka bila terjadi penambangan buruk (gunung-gunung dibarubuh), deforestasi (tatangkalan dituaran), yang akan berdampak pada cai caah babanb­jiran (banjir bandang) dan bhuwana marodah montah (gunung meletus, longsor, gempa bumi, dan lain-lain). Muaranya adalah penderitaan raky­at, karena harapan kolektif mereka terampas dan dirampas oleh per­ilaku buruk terhadap alam.

Perilaku buruk terhadap alam itu, antara lain dalam bentuk alih fungsi lahan yang tidak sesuai den­gan prinsip pembagian wilayah konservasi dan wilayah budidaya sebagaimana diatur dalam konsep dan strategi tata ruang.

BACA JUGA :  Takengon Aceh Tengah Diguncang Gempa M4,9

Secara historical dan secara mitos, Bogor terwariskan sebagai kawasan kehidupan yang memberi begitu peluang untuk mencapai kesejahteraan kolektif, apabila Bo­gor (Kota dan Kabupaten) dikelola secara arif, melalui kebijakan yang berpihak kepada alam dan manusia.

Salah satu wujud kearifan ada­lah menyadari, bahwa secara ge­ologis, Bogor merupakan wilayah sliding land yang kapan saja dapat menimbulkan bencana. Untuk menghindari agar bencana tak da­tang tiba-tiba, solusinya adalah memperkuat seluruh wilayah den­gan penghijauan. Secara alamiah, menghijaukan Bogor (menanam pohon) jauh lebih bermanfaat. Ter­utama karena karakter hutan kita merupakan hutan tropis dengan kanopi yang memberi suhu normal untuk kesuburan lahan.

Belanda, berdasarkan data yang ditemukan oleh tim ekspedisi Portu­gis sebelumnya, menyadari kondisi demikian, dan membangun Bogor sebagai buitenzorg, kota taman yang dikelilingi hutan, ladang, dan pesawahan. Lantas menjadikannya sebagai center of excelent (sentra keunggulan) dalam hal keilmuan dan pengetahuan terkait dengan pemeliharaan bumi.

============================================================
============================================================
============================================================