Kejayaan Pajajaran dan Pakuan (Bogor) semakin tampak dan terkenal ke seantero Nusantara. Karena catatan Tome Pirés kejayaan itu juga dikenal di beberapa neÂgara di Eropa, khasnya Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Mereka berusaha menjalin hubungan dengan Pakuan. Termasuk membawa gagasan tentang perjanjian bilateral dengan Pajajaran.
Oleh :Â Bang Sem Haesy
PUSAT kekuasaan yang beÂrada di Bhima Rancamaya tak hirau dengan hal itu. Prabu Surawisesa meÂneruskan apa yang sudah dilakukan oleh Prabu Siliwangi. Baik pembanÂgunan infrastruktur, sepÂerti Talaga Rena MahawiÂjaya, untuk kepentingan hajat hidup rakyat, memelihara TaÂlaga Warna untuk kepentingan konservasi hutan di kawasan Gede. Menurut Pangeran WangÂsakerta dalam Pustaka KertÂabhumi, selain itu, bagi kepentingan menjaga keÂjayaan Sunda Kelapa, Prabu Siliwangi juga membangun telaga lain, Maharena Wijaya, sekaligus gugusan hijau hutan di kiri-kanan jalan ke WanaÂgiri. Pembangunan Maharena Wijaya (bukan Rena MahawiÂjaya) dengan kanal alur sunÂgai Cisadane, dibangun untuk kepentingan kehidupan dan penghidupan rakyat. Begitu juga dengan pembangunan kanal Ciliwung, dengan memÂperkuat tebing sungai dengan gugus hutan hijau (green belt).
Prabu Surawisesa yang memperluas hubungan daÂgang internasional, sangat memperhatikan konservasi dan pembagian ruang budi daya dan ruang konservasi. Beberapa wilayah yang telah ditetapkan sebagai wilayah perdikan, dilanjutkannya. Hasilnya tak terduga. Selain daerah-daerah itu menjadi kaÂwasan para pandita melakuÂkan proses pendidikan spiritÂual keagamaan, ternyata juga menjadi penghasil padi yang bermutu.
Dari daerah perdikan, keperluan rakyat di Pakuan dan daerah sekitarnya akan beras, terpenuhi. Beberapa produk lain yang dihasilkan dari Sangga Bhuwana dan daeÂrah-daerah sepanjang Sungai Cikeas, bahkan mampu meÂnambah kontribusi terhadap kepentingan ekspor (khasnya lada dan tamarin). Di wilayah Barat, dikelola kawasan huÂtan samaya penghasil gaharu. Sunda Kelapa sendiri dikelilinÂgi oleh kebun-kebun cendana, selain produksi buah-buahan untuk kepentingan konsumsi.
Potensi lain, seperti tamÂbang (berupa bebatuan pengÂhasil kapur dan semen) dari wilayah budidaya, dipergunaÂkan untuk kepentingan pemÂbangunan berbagai sarana prasarana. Antara lain kasaÂtrian (asrama prajurit), kabiÂnihajian (keputren), pagelaran (tempat latihan tempur), dan pamingtonan (tempat rakyat melihat gelar pasukan).
Kesemua itu, membuat Prabu Surawisesa yang dalam beberapa catatan disebut juga sebagai Arya Bhima sering merenung, mawas diri, meliÂhat kelebihan ayahnya (Prabu Siliwangi). Dia merasa, pakarÂya yang dilakukan oleh ayah dan para pendahulunya sungÂguh luar biasa. Prabu SurawisÂesa menunjukkan rasa hormat yang mendalam tentang hal itu.
Untuk menghormati itu seÂmua, sekaligus sebagai pengÂingat bagi dirinya untuk selalu menjalankan amanat Prabu Siliwangi, akhirnya SurawisÂesa memutuskan untuk memÂbuat Çakakala Surawisesa yang juga dikenal sebagai Çakakala Arya Bhima. Itulah yang kita kenal kemudian denÂgan Prasasti Batutulis.
Çakakala Arya Bhima dibuat 12 tahun setelah waÂfatnya Prabu Siliwangi melaÂlui upacara strada, upacara penyempurnaan sukma. SeÂlain menyebut dan mengurai satu persatu karya mendiang ayahnya, Surawisesa masih memasukkan kalimat pendek: ya sia pun ! Kalimat yang meÂnegaskan prestasi luar biasa Prabu Siliwangi.