Oleh: ALAMSYAH M. DJAFAR
Penulis, peneliti the Wahid Institute Jakarta
Nancy, seorang profeÂsor ilmu politik dan sosial, dan Linda –proÂfesor sejarah dan ilmu humaniora—benar. LiÂhat saja konstitusi di banyak negÂara-negara demokratis di seantero dunia. Warga negara adalah tuÂjuan akhir dari segala yang dikerÂjakan dan dilayani negara. Dalam pelayanan pemerintah, warga negara tak boleh dibedakan lantaÂran alasan etnis, ras, agama, kelas sosial, orientasi seksual, dan lain-lain. Setiap warga negara punya hak dan kewajiban setara.
Nilai-nilai luhur itu sangat “nyaring†disuarakan Pancasila dan UUD 1945. Jika disarikan, setiÂdaknya ada 40 hak dalam konstiÂtusi kita ini. Dari hak beragama hingga mendapatkan suaka. Dari hak mengenyam pendidikan hingÂga menghirup kehidupan.
Warga negara begitu dimuÂliakan. Konstitusi melarang keras praktik diskriminasi atau perlakuan tidak setara. “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindÂungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu,†begitu bunyi pasal 28I ayat 2 UUD 1945.
Jadi, pemerintah memang diÂharamkan memberi pelayanan berbeda karena alasan sekat-sekat tadi. Pemerintah tak boleh mengaÂnakemaskan mayoritas, menekan minoritas. Yang harus dikedeÂpankan justru kebaikan publik. Dalam bahasa ushul fiqh, ilmu dasar-dasar hukum Islam, kebaiÂkan umum (maslahat al-‘ammah) adalah yang utama dan wajib diÂdahulukan ketimbang kebaikan individu (maslahat al-fadz).
Sayangnya, nilai-nilai mulia ini masih tak mudah diterjemahkan. Tindakan-tindakan diskriminasi berÂbasis agama atau keyakinan di Tanah Air acap dijumpai di area yang palÂing gampang dilihat: layanan publik.
Diskriminasi ini perkara strateÂgis untuk disorot. Ia “gapura†bagi pelanggaran hak-hak warga negÂara selanjutnya. Dari pembedaan muncul stigma, lalu bisa berujung kekerasan. Dalam banyak kasus pelanggaran hak beragama, hamÂpir dipastikan praktik diskriminasi selalu ditemukan. Saya ingin memÂberi contoh tiga saja: Tolikara di Papua, Singkil di Aceh, dan Sapto Darmo di Rembang, Jawa Tengah. Di Tolikara, penguasa meminta umat Islam “menghormati†maÂsyarakat yang mayoritas. Umat Islam tak boleh salat di lapangan dan menggunakan pengeras suara. Untuk memperkuat larangan itu, konon ada perda yang mengatur.
Di Singkil, alasan penolakan gereja yang akhirnya memicu pembakaran gereja merujuk kesÂepakatan tahun 1979 yang lalu diÂperbarui tahun 2001. Isinya hanya ada sebuah gereja dan empat undÂung-undung yang boleh berdiri di Singkil. Sementara itu di Rembang perusakan Sanggar Sapto Darmo dipicu alasan tak punya IMB. Pada saat mendirikan, kepala desa tak merestui. Alasannya, sebagian beÂsar masyarakat menolak.
Apa urusannya kasus-kasus itu dengan layanan publik? Dalam tiga kasus tadi, pemerintah jelas berada dalam aktivitas pembeÂrian pelayanan publik. Lihat saja definisinya dalam UU No 25 TaÂhun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Pelayanan publik adalah arena yang dengan mudah kualiÂtas layanan diukur, termasuk dalam pemenuhan hak beragama berkeyakinan. Jika ada kebijakan resmi keluar, bisa dilihat apakah prosesnya dilakukan benar, terbuÂka, partisipastif, nondiskriminasi dan transparan. Jangan-jangan ada “maladministrasi†seperti diistilahkan UU Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Jangan-jangan ada tindakan dan pernyataan aparat pemerintah yang melanggar dan diskriminatif.
“Persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif†menjadi asas dalam pelayanan publik sebÂagaimana diamanatkan UU PelayÂanan publik. Kita bisa mendaftar sejumlah UU yang menyorongkan prinsip nondiskriminasi itu. MisÂalnya, UU No 23 tahun 2006 tenÂtang Administrasi Kependudukan –diperbarui menjadi UU nomor 24 tahun 2013 dengan istilah “hak untuk memperoleh pelayanan yang samaâ€; UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang melarÂang membuat peraturan yang disÂkriminatif terkait suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender; UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil NegaÂra (ASN) yang menjadikan nondisÂkriminasi sebagai asas.
Belum lama ini, Puslitbang Kementerian menggelar diskusi kelompok terfokus tentang konÂsep pelayanan agama di luar yang enam. Bersama dua narasumber lain, mewakili The Wahid Institute saya diminta memberi masukan seputar isu tersebut. Maka gagaÂsan inilah yang juga saya ajukan: pelayanan nondiskriminasi.
Berpegang pada prinsip nonÂdiskriminasi, pemerintah tak boleh membedakan layanan terhadap yang enam dan di luar yang enam, termaÂsuk bagi mereka yang selama ini diseÂbut pemerintah sebagai “penghayat kepercayaanâ€. Ini amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/ PUU-VII/2009 tentang uji Materi UU PNPS tahun 1965. UU ini, menurut pertimbangan MK, tidak sedikit pun mematikan kemajemukan agama yang ada dan tumbuh di Indonesia. Semua penganut agama mendapat pengakuan dan jaminan perlindunÂgan yang sama. Begitupun bagi keperÂcayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mereka diakui dan dihormati.
sumber: satuharapan.com