ERA pasar terbuka kawasan Asia Tenggara sudah resmi dimulai 1 Januari 2016. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah sepakat menjadikan wilayah ASEAN dengan 10 negara anggotanya sebagai pasar bersatu dan basis produksi bersama. MEA juga pasar bagi 630 juta penduduk, atau pasar keempat terbesar di dunia.
RISHAD NOVIANSYAH|YUSKA APITYA
[email protected]
Menteri Perindustrian Saleh Husin telah menyiapkan langkah-langkah dalam menghadapi MEA, yang secara umum dapat dibagi ke dalam 2 (dua) bidang yaitu: (1) bidang Trade in Goods (PerdaÂgangan Barang), dan (2) bidang Trade in Services (PerdaÂgangan Jasa). “Kementerian Perindustrian telah melakukan langkah-langkah peningkatan daya saing industri dan mendorong investasi di sektor industri. Peningkatan daya saing inÂdustri dilakukan melalui penguatan struktur industri dengan melengkapi struktur industri yang masih kosong dan menyiapkan strategi ofensif dan defensif dalam akses pasar,†kata Saleh Husin.
Sudah siapkah industri lokal menghadapi MEA? Saleh mengatakan, secara umum siap tidak siap. “Secara umum tidak siap. BeÂberapa industri yang belum siap dalam perÂsaingan MEA antara lain industri komponen elektronik, industri information technology (IT) dan peralatan elektronik rumah tangga, industri bahan baku (basic manufacture) dan industri lainnya,†kata dia.
Saleh juga mengatakan, industri yang palÂing siap dalam menghadapi persaingan MEA ada 9 (sembilan) sektor yaitu: (1) Industri berÂbasis agro (CPO, kakao, dan karet), (2) ikan dan produk olahannya, (3) tekstil dan produk tekstil, (4) alas kaki (sport shoes) dan produk kulit, (5) furnitur, (6) makanan dan minuÂman, (7) pupuk dan petrokimia, (8) mesin dan peralatannya, serta (9) logam dasar besi dan baja. “Semua dikembalikan kembali ke pasar ASEAN karena pada akhirnya pasar yang akan menentukan siapa yang mampu mendominaÂsi persaingan di ASEAN,†tandas Saleh.
Terpisah, peneliti ekonomi bidang ekoÂnomi internasional dari Lembaga Ilmu PenÂgetahuan Indonesia (LIPI), Pangky Tri FebiÂyansyah, mengatakan kurang dari 30 persen masyarakat belum paham konsepsi MasyaraÂkat Ekonomi ASEAN (MEA). Hal ini diambil dari penelitian yang dilakukan LIPI terhadap 2.000 responden di 16 provinsi. “KesimpuÂlan kami, pemerintah terlambat melakukan sosialisasi. Kami meneliti 2.300 responden di 16 provinsi dengan sistem random, baik pengusaha maupun masyarakat, setelah itu kriteria profesi dan mendatangi asosiasi samÂbil mengamati,†katanya, Jumat (1/1/2016) kemarin.
Meskipun terlambat, Pangky tetap menÂgapresiasi langkah pemerintah. “PemerÂintah kurang sungguh-sungguh. Ketika kami meneliti kalangan pengusaha dan pedÂagang serta masyarakat, mereka tidak paÂham, tidak tahu apa manfaat MEA,†ujarnya.
Menurut Pangky, hal ini menjadi pentÂing agar Indonesia tidak hanya menjadi negara tujuan untuk barang dan pengusaha negara ASEAN lain. “Kita hanya basis tujuan dari barang mereka, kita hanya jadi pasar. Itu yang jadi masalah,†kata dia.
Pangky berujar, memasuki MEA pada 2016, pemerintah harus melakukan sosialÂisasi dari tingkat atas ke tingkat daerah. “TuÂjuannya agar terjadi akselerasi, pemda pun aware bahwa di MEA ada mobilitas skill laÂbor dan bagaimana investasi dari ASEAN itu mengalir,†katanya.
Pangky khawatir posisi Indonesia hanya bisa menjadi konsumen tanpa diimbangi produksi. “Perdagangan MEA dengan tarif nol tentu akan berpengaruh terhadap baÂrang di daerah. Logika sederhananya, bila lebih murah, UKM setempat akan lewat,†tuturnya.
Tahun baru sudah dimulai. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2016 pun di depan mata. Namun, Indonesia belum sepenuhnya siap, misalnya dalam bidang teknik.
Bogor Belum Siap
Mengenai MEA, Ketua Kamar Dagang dan Bisnis Indonesia (Kadin) Kota Bogor, Erik Irawan Suganda, mengaku belum semua pengusaha di Kota Bogor belum siap. “Secara umum belum siap. Banyak pengusaha malah bangkrut akibat ketidakpastian perekonomiÂan selama setahun terakhir. Pengusaha memÂbutuhkan stimulus baru,†kata dia.
Sementara itu, Bupati Bogor Hj NurhayÂanti mengungkapkan, dalam menghadapi MEA, tidak ada pilihan lain selain meninÂgkatkan tenaga kerja di Kabupaten Bogor. “Ya, tidak ada pilihan. Kita harus meninÂgkatkan terus kualitas tenaga kerja kita. Lewat pelatihan-pelatihan supaya mereka mampu bersaing dengan tenaga-tenaga dari negara ASEAN lainnya,†tegas Nurhayanti, Jumat (1/1/2015).
Yanti pun mengambil sisi positif dari MEA ini. Yakni untuk meningkatkan daya saing produk lokal di kancah internasional. “Jangan berkutat di nasional saja. Harus bisa go internasional. Makanya mereka harus puÂnya kemampuan bisnis dan berinovasi dalam menciptakan produk berkualitas dan tentuÂnya mampu berbahasa asing,†tandasnya.
Terpisah, Ketua Forum UMKM KabuÂpaten Bogor, Hasan Haikal Thalib menjelasÂkan, peningkatan SDM merupakan satu-satÂunya cara untuk dapat bersaing dalam MEA. “UMKM juga harus bisa memenuhi standariÂsasi seperti badan hukum, memiliki sertifiÂkat halal, memiliki kemasan yang baik dan produk yang aman. Itu hanya bisa diwujudÂkan dengan peningkatan kualitas SDM. JanÂgan sampai kita kalah dari negara tetangga,†katanya.
Haikal mengaku, dari 15 ribu UMKM yang terdaftar, 80 persen diantaranya masih aktif dan produktif. “Ini dia yang musti kita manÂfaatkan. Dengan jumlah yang banyak, jangan sampi kita kalah atau tidak bisa bersaing,†tandasnya.
Kuliner dan fashion, kata Haikal, meruÂpakan beberapa sektor yang menjadi andaÂlan dalam pasar bebas ASEAN. “Pakaian adat kita begus dan menarik. Apalagi kuliner. BanÂyak sekali yang khas dari Bogor. Itulah yang akan kami andalkan nanti,†pungkasnya.
Aliran barang dan jasa dari seluruh negÂara anggota ASEAN ditambah China, Jepang, dan Korea Selatan akan lebih bebas untuk masuk ke Indonesia, begitu juga sebaliknya ekspor barang dan jasa Indonesia ke negara-negara tersebut lebih bebas.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan, salah satu kendala yang diÂhadapi Indonesia dalam menghadapi perdaÂgangan bebas di ASEAN ini adalah masih kurang uniknya desain produk-produk InÂdonesia. “Beberapa hambatan yang masih kita hadapi diantaranya adalah dengan sesama anggota ASEAN, kita masih mengekspor beÂberapa produk yang seÂrupa sehingga kita harus lebih mengembangkan kreatifitas agar memiliki keunggulan dibanding produk negara anggota ASEAN lainnya,†kata Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional KeÂmendag, Nus Nuzulia Ishak, Jumat (1/1/2016).
Padahal, di era MEA ini persaingan telah bergeser dari sisi harga ke kualitas dan desain produk. Sebab, maÂsyarakat di ASEAN rata-rata sudah masuk dalam kelas menengah seÂcara ekonomi, sudah memiliki daya beli yang tinggi. Produk-produk yang dicari bukan lagi yang murah, tapi yang unik dan berkualiÂtas. “Sebagaimana kita cermati pergeseran keunggulan daya saing suatu produk telah bergeser dari sisi harga yang murah menjadi kualitas yang unggul, kedepannya setelah kualitas disain suatu produk akan lebih mampu meningkatkan keunggulan daya saÂing suatu produk,†papar Nus.
Untuk mendorong tumbuhnya kreatiÂvitas, sambungnya, Kemendag kini sedang mempersiapkan pendirian Indonesia Design Centre (IDC) sebagai suatu wadah pengemÂbangan desain bagi produk-produk potensial ekspor nasional ke depannya. Hal ini dilakuÂkan supaya produk Indonesia makin berdaya saing. “IDC rencananya akan di-launching pada bulan Maret 2016,†tandasnya. (*)
Saya tertarik dengan tulisan anda, Indonesia memang sagat kaya akan kulinernya, saya juga punya tulisan yang sejenis tentang kuliner-kuliner Indonesia, anda dapat mengunjungi di Eksplor Indonesia