Oleh: TULUS SANTOSO
Tenaga ahli anggota Komisi X DPR RI

Mengacu pada Surat Keputusan yang dikeluarkan Balit­bang Kemdikbud, saat ini ada tiga kategori sekolah yang menerap­kan K-13. Pertama, sekolah rintisan sebanyak 6.096 sekolah; kedua, sekolah yang ditentukan BAN-SM (26 sekolah); dan ketiga, sekolah mandiri (10.869 sekolah). Semuan­ya, menurut Kemdikbud, sudah mencakup 6% dari total sekolah yang ada di Indonesia.

Di tengah kegalauan pendi­dik, siswa, dan orangtua men­genai dualisme kurikulum terse­but, ternyata pemerintah belum menunjukkan kinerja yang pro­gresif dalam menuntaskan perso­alan ini. Bahkan, tidak ada geliat dari pemerintah yang menanda­kan bahwa dualisme kurikulum ini akan segera berakhir.

Hal ini dapat kita lihat dari rencana Kemdikbud yang men­argetkan adanya penambahan jumlah sekolah yang menerapkan K-13 secara bertahap. Meskipun pada tahun pelajaran 2015/2016 Kemdikbud belum melakukan penambahan jumlah sekolah yang akan menerapkan K-13, tapi pada tahun pelajaran 2016/2017 ditargetkan ada penambahan sebesar 19 persen. Selanjutnya, diharapkan pada tahun pelajaran 2019/2020 semua sekolah sudah akan mengimplementasikan K-13. Artinya, KTSP dan K-13 akan ter­us disandingkan sampai semua sekolah dinilai siap untuk men­jalankan K-13.

Permasalahannya kemudian, saat ini pihak Kemdikbud masih terus mengevaluasi K-13. Sehing­ga, bila evaluasi sedang berproses dan sejalan dengan itu dilaku­kan penambahan sekolah yang menerapkan K-13, maka masing-masing sekolah tidak akan pernah menerapkan K-13 dalam rumusan yang paripurna. Selanjutnya, pelatihan seperti apa yang akan diberikan kepada kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan, dan pengawas bila nyatanya kuri­kulum masih dalam proses evalu­asi. Kemungkinan besar pelatihan akan menjadi kadaluarsa dan tidak berguna bila K-13 sedang dalam proses revisi.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Kemdikbud mesti sadar bah­wa dualisme kurikulum ini meru­pakan suatu masalah yang harus mendapatkan perhatian serius dan penanganan yang cepat. Per­masalahan mencuat tidak hanya menyangkut kegagalan fokus dari apa yang ingin dicapai dari pros­es pembelajaran di sekolah, tapi kurikulum ini juga akan berdam­pak pada beberapa persoalan lan­jutan, seperti biaya pendidikan, sistem pembelajaran yang diberi­kan guru, lamanya pembelajaran di sekolah, jam mengajar guru, dan tentunya pendapatan guru.

Penulis berharap Mendikbud berupaya serius segera meny­elesaikan persoalan dualisme kurikulum ini agar tidak semakin berlarut-larut. Sehingga, sekolah dan peserta didik kelak tidak ber­wajah dua, yakni yang bercirikan KTSP dan K-13. Bahayanya lagi, bila K-13 dianggap lebih maju daripada KTSP, maka sekolah dan siswa KTSP bisa semakin terting­gal. Apalagi sekolah percontohan K-13 sebagian besar merupakan sekolah-sekolah unggulan.

Jangan sampai nanti muncul dualisme peserta didik, di mana yang satu kurang memiliki kara­kter dan sikap kebangsaan yang kuat lantaran diajar dengan KTSP. Di sisi lain muncul siswa-siswi yang memiliki karakter personal dan kebangsaan yang kuat karena dididik dengan menggunakan K-13 yang menekankan pada pem­bangunan karakter dan diajarkan­nya kembali pancasila selain pen­didikan kewarganegaraan.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Kita semua mesti ingat, bah­wa adanya pembagian sekolah bertaraf internasional dan seko­lah reguler saja menimbulkan masalah, apalagi pemberlakuan dua kurikulum yang notabene­nya merupakan pedoman dalam kegiatan pembelajaran. Seperti apa output yang diinginkan dari proses pembelajaran setidaknya tercermin dari kurikulum. Say­angnya, kapan berakhirnya dual­isme kurikulum dan seperti apa kurikulum yang akan diterapkan ke depan masih menjadi misteri.

Menyikapi persoalan ini, pen­ulis berharap pemerintah segera mengakhiri dualisme kurikulum dan membuat sintesa dari KTSP dan K-13. Bisa saja pemerintah menamakan kurikulumnya den­gan nama baru, semisal ”Kuriku­lum Nasional”. Hal ini tidak men­jadi persoalan substantif. Aspek penting yang harus kita pahami adalah bahwa pelatihan kepada sumber daya pendidikan dan penambahan sekolah yang akan menerapkan K-13 akan efektif bila rumusan kurikulum sudah final.

Bila ini tidak dilakukan, maka Kemdikbud hanya menghabiskan anggaran negara untuk men­jalankan kebijakan yang tidak ter­konsep dengan baik. Selain itu, anggota DPR khususnya Komisi X yang merupakan mitra Kem­dikbud perlu menjalankan fungsi pengawasan dan politik angga­rannya agar kebijakan dualisme kurikulum ini segera berakhir. ***

sumber: suarakarya.id

============================================================
============================================================
============================================================