KONFLIK internal dalam sebuah partai besar lumrah terjadi. Jika partai terlembagakan dengan baik, maka akhir dari konfik tersebut justru malah bisa semakin memperkuat partai. Sayangnya, tidak semua partai terlembagakan dengan baik. Terlebih lagi, hanya sedikit partai yang memiliki politisi-negarawan yang mampu mencari solusi beyond their interests.
Oleh: NICO HARJANTO
Kebanyakan yang ada adalah para parasit politik yang bekerja di partai untuk menÂÂcari penghidupan diri dan kelompok, pengamanan aset dan kepentingan, mauÂÂpun kepuasan semu dari candu kekuasaan seperti layanan proÂÂtokoler, penghormatan formaliÂÂtas, hingga pemberian gelar dan sebutan tertentu.
Di negara demokrasi maju, konflik internal partai bukan fenomena yang jarang terjadi. Partai Buruh di Inggris misalnya, pernah mengalami masa surut panjang sebagai partai oposisi dari 1979 hingga 1997.
Selama 18 tahun, Partai KonÂÂservatif di bawah kepemimpiÂÂnan Perdana Menteri Margaret Thatcher dan John Major, berkuaÂÂsa dengan beragam prestasi seÂÂhingga Partai Buruh semakin terbenam dalam konflik internal yang cukup tajam.
Namun, proses dialektika muncul dari konflik tersebut seÂÂhingga terbitlah manifesto New Labour, New Life for Britain, pada 1996 untuk mengoreksi paradigma lama partai tersebut, yang resisten terhadap ekonomi pasar, tapi juga seringkali mengÂÂingkari janji-janji muluk kamÂÂpanye untuk memperjuangkan kaum buruh.
Di bawah kepemimpinan baru Tony Blair yang segar dan menjanjikan, Partai Buruh akhÂÂirnya memenangkan pemilu pada 1997 dan kemudian memegang tampuk kekuasaan hingga 2010.
Jika partai tidak terlemÂÂbagakan dengan baik, konflik inÂÂternal kepartaian biasanya akan mengarah pada dua muara. PerÂÂtama, terjadinya party split saat faksi-faksi yang tidak puas mendirikan partai-partai baru.
Akibatnya, tentu kekuaÂÂtan partai yang tersisa semakin tergerus dan dengan semakin banyak rival eksternal yang seÂÂcara emosional tidak friendly, maka sangat mungkin berbagai akses mobilisasi sumber daya politik dan massa menjadi semaÂÂkin banyak yang tertutup.
Party split juga terjadi keÂÂtika banyak politisi partai yang berkonflik internal tersebut pinÂÂdah ke partai-partai lainnya.
Kedua, terjadinya political party decay, di mana pembusuÂÂkan partai justru dilakukan oleh elemen-elemen yang merasa menang, yang menjalankan parÂÂtai sebagaimana layaknya mengeÂÂlola usaha dagang.
Atau proses pembusukan kepartaian dilakukan oleh anaÂÂsir-anasir yang kalah atau terkaÂÂlahkan dalam kompetisi internal kepartaian tersebut, yang tidak segan-segan melakukan sabotase internal untuk menghancurkan kekuatan faksi lawan yang sedang memegang tampuk kepemimpiÂÂnan partai.
Sumber : Liputan6.com