CIMG4664BANYAK orang mengatakan, Tri Tangtu di Salira merupa­kan mikrokosmik dari dimensi peran insaniah manusia. Saya justru berkeyakinan, Tri Tangtu di Salira merupakan makrokos­mik dimensi insaniah kita, seba­gai pengemban misi rahmat atas alam semesta. Karena itu, tugas utama kita sebagai manusia ada­lah menciptakan dan menebar keselamatan dan kesejahter­aan hidup antar sesama.

Oleh : Bang Sem Haesy

TRI Tangtu di Salira memben­tuk akal budi, sehingga ketika kita mengaktualisasi dimensi peran insaniah, yang mewujud adalah tanggungjawab mem­bangun tata kelola masyarakat bangsa alias jati nagara. Termasuk mem­bangun harmonisasi umat beragama secara nyata.

Bermodal Tri Tangtu di Salira, sebagai makhluk sosial, kita kudu memainkan peran sesuai fungsi lebih khas (budaya, sosial, poli­tik, ekonomi). Ketika itu, di dalam fikiran dan perasaan kita – sebagai khalifah Allah di atas mukabumi –mengalir Tri Tangtu di Balarea.

Bila kesemua itu mewujud dalam akal budi dan dalam kehidupan keseharian, maka manusia akan matang untuk memahami es­ensi cinta – kasih, rahman – rahim, seperti yang diajarkan agama.

Cinta kasih – rahman rahim dalam peran sebagai rahmat atas alam itu kelak akan me­mungkinkan kita mewujudkan Tri Tangtu di Buana (jati kusumah) untuk mengelola se­mua anasir hidup dalam dimensi mikro-mak­ro. Antara lain, berupa ketentuan kehidupan beragama dalam negara.

BACA JUGA :  Wajib Tahu Ini, 6 Manfaat Jahe Merah bagi Tubuh

Budaya sebagai pilar utama peradaban dan keadaban, memandu cara mewujudkan jati kusumah itu. Yakni : menciptakan keadi­lan kepada siapa saja (adil paramaarta), adil ka diri adil ka balarea, untuk kepentingan pribadi, balarea, dan sarerea dalam nagara. Sehingga, kita berdaulat dan merdeka lahir batin, “teu sirik pidik jail kaniaya, teu sudi ngajajah teu sudi dijajah.”

Semua nilai filosofi itu tertampak dalam pribadi Prabu Siliwangi dan Prabu Surawis­esa, sehingga berhasil membangun Pajaja­ran, seperti yang dipujikan pemerhati se­jarah dari Barat, seperti Tome Pires. Dalam konteks itu, kita melihat, kedigjayaan Pakuan masa itu, tegak karena kemauan dan kemam­puan manusia sebagai modal insan mencip­takan harmoni dengan alam dan lingkungan, sebagai wujud bakti kepada Tuhan.

Kehidupan itu kemudian dirusak oleh modernitas tak terkendali yang kita lakukan, dan terus berkembang hingga kini. Secara deskriptif, kondisi yang rusak itu tergambar­kan dalam rumpaka seperti ini:

BACA JUGA :  Polisi Tangkap Oknum Satpol PP yang Nekat Curi Speaker Aktif di Toko Elektronik

“Kawung mabur carulukna, gula leun­giteun ganduan, samak tingaleun pandana, ciherang karih kiruhna, cai amis kintun paitnya, kyai leungiteun aji, pandita ilang ko­mara, kahuruan ku napsuna.

Kawung kehilangan putiknya sebagai simbol dari ancaman lost generation. Baik karena gizi buruk, atau karena narkoba. Gula kehilangan takarannya -destandarisasi, yang mengakibatkan kita sering menilai orang lain tanpa parameter yang jelas. Tikar ditinggal­kan pandan -manipulasi, yang terjadi akibat berlangsungnya korupsi – suap dan bentuk rasuah lainnya. (Semua) yang jernih tinggal keruhnya dan air manis tinggal pahitnya, akibat kerusakan lingkungan. Kiai kehilan­gan kemakbulan do’anya, serta petinggi dan cendekiawan hilang wibawanya. Hal itu tam­pak dalam realitas kehidupan sehari-hari. Kesemua itu terbakar oleh hawa nafsunya masing-masing, sehingga negeri ini seringkali bergaduh.

Metafora dalam rumpaka itu, menghadap­kan kita pada realitas kekinian. Itulah sebabn­ya kita harus kembali mengkaji diri agar tahu diri, menemukan kembali dimensi hidup kita sebagai manusia. Kembali menemukan Tri Tangtu di Salira, membenahi akhlak. Mulai dari diri pribadi masing-masing.

============================================================
============================================================
============================================================