Oleh: TOMI ADHIYUDHA
Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Tri Sakti Jakarta

Menekankan ur­gensi keberadaan Perpres (Per­aturan Presiden) Pengendalian Harga Bahan Pangan Pokok den­gan membentuk sebuah lembaga atau BPN di Indonesia, DPD RI bekerja sama dengan pihak ter­kait, seperti Kementerian Perda­gangan dan Kementerian Perta­nian, melihat masalah pangan ini merupakan masalah strategis dan fundamental.

Senator asal Sumatera Utara ini juga mengatakan, dalam Un­dang Undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan harus ada Per­pres tentang lembaga otoritas yang mengatur pangan. Mengin­gat Perpres tentang pangan hing­ga saat ini belum ada sehingga pemerintah harus segera mem­buatnya.

Malah dalam undang-un­dang tentang perdagangan juga menyebutkan keharusan ke­beradaan Perpres yang khusus mengatur tentang ketersediaan bahan kebutuhan pokok dan ba­rang penting berkualitas dan me­madai dengan harga terjangkau.

Selain Parlindungan Purba, dialog tentang Pangan Kita di Ci­kini juga menghadirkan dua nara­sumber lain, yakni: Arif Satria (Dekan FEMA Institut Pertanian Bogor dan Ketua Umum Ikatan Sarjana Pertanian Indonesia) dan pemerhati masalah politik pangan, Andi Sinulingga.

Solusi

Parlindungan Purba menegas­kan bahwa intervensi pemerintah hingga saat ini belum konkrit wa­laupun menterinya sudah turun ke lapangan.

Oleh sebab itu, diperlukan back up (peraturan pelaksana) berupa Perpres, khususnya ten­tang pengendalian harga kebu­tuhan pokok yang mengatur produk dan atau bahan-bahan kebutuhan pokok mana saja yang perlu dan harus selalu dijaga.

Parlindungan Purba berharap Perpres tentang pangan ini segera daoar direalisasikan pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari UU Pangan No. 18 Tahun 2012. Implementasi Perpres ini di la­pangan penting untuk menyele­saikan problem pangan di negeri ini ke depan.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Sementara Arif Satria, Dekan FEMA IPB dan Ketua Umum Ika­tan Sarjana Pertanian Indonesia juga menyampaikan pendapat­nya bahwa salah satu solusi mengatasi masalah pangan di Indonesia adalah dengan penganekaragaman makanan untuk para konsumen (masyarakat).

Dengan perkataan lain, perilaku konsumen diharapkan dapat diubah dengan penganekaraga­man bahan makanan atau pangan.

Sembari mengatakan bahwa problem tentang ketersediaan pangan ini akan terus bergulir dan dirinya juga menyatakan sependapat dan setuju jika kelak dibentuk sebuah badan atau lem­baga untuk dan atau yang dapat menyelesaikan persoalan pan­gan.

Hal senada juga dikemukakan pemerhati masalah politik pan­gan Andi Sinulingga yang menye­butkan bahwa ke depan pemer­intah harus mempunyai sebuah lembaga atau badan pangan nasi­onal yang memiliki otoritas kuat.

Keberadaan lembaga dengan otoritas yang kuat ini tentu akan menentukan posisi pemerintah dalam keberpihakan yang jelas dan tegas terhadap masyarakat, di mana lembaga seperti Badan Urusan Logistik (Bulog) masih terkesan ‘setengah-setengah’. Padahal, badan tersebut diharap­kan merupakan lembaga yang powerful (memiliki otoritas yang penuh dan kuat.

Pendapat ketiga pakar di atas tampaknya memang ada bena­rnya, bahwa perlu keberadaan lembaga pangan berupa badan pangan nasional yang memiliki otoritas kuat untuk dapat menye­lesaikan persoalan pangan secara komprehensif di Indonesia.

Namun, mungkin akan lebih baik jika tidak usah membentuk lagi badan baru khusus untuk menangani pangan karena alasan efisiensi. Mengingat sudah ter­lalu banyaknya lembaga-lembaga (hampir) serupa yang tumbuh di Indonesia pada era-era pemer­intahan sebelumnya dan hampir kesemuanya ternyata merata ti­dak efektif.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Sehingga, bukanlah dengan cara membentuk BPN, namun dengan semakin memperkuat Bulog hingga dapat menjangkau tugas-tugas penyelesaian prob­lem pangan nasional secara fun­damental, komprehensif dan me­nyeluruh.

Asal saja, Bulog diberi kesem­patan dan payung hukum untuk dan atau memiliki otoritas penuh (powerful), bebas dalam berim­provisasi apalagi di saat-saat ke­gentingan pangan dan ataupun saat menjelang Hari Raya Idul Fitri dan atau hari-hari besar ke­agamaan lainnya tiba. Yang ter­penting lagi, keberadaan lembaga ini tidak diintervensi pihak-pihak tertentu atau pihak-pihak berke­pentingan lainnya.

Malah, bila perlu, pemerintah sendiri sebagai pemilik atau oto­ritas dan atau stake holder Bulog, wajib dan harus terbuka kepada public (masyarakat dan media). Semisal, kenapa dalam sebuah kasus khusus (pangan)tertentu lalu (harus) melakukan intervensi terhadap Bulog.

Sekalipun itu beralasan karena persoalan pangan dirasa pemerintah sudah genting dan sangat mendesak dilakukan den­gan harus mengintervensi Bulog demi mengamankan dan meny­elematkan pangan dalam negeri dan lain sebagainya.

Namun demikian, asal saja hal tersebut dilakukan pemerintah demi kepentingan dan kemakmu­ran masyarakat, tentu tidaklah menjadi masalah.

Di mana, pemerintah perlu lebih transparan sehingga ma­syarakat dapat mengetahui ke­bijakan apa yang akan dan telah dilakukan pemerintah sebagai wujud telah melaksanakan good corporate government (tata ke­lola perusahaan yang baik dan benar) dan good goverment (pemerintahan yang bersih dan berwibawa). ***

sumber: suarakarya.id

============================================================
============================================================
============================================================