Kesenangan duniawi membuat Nilakendra, seperti Ratu Dewata dan Ratu Sakti alpa, bahwa kemajuan ekonomi harus dikelola dengan benar, sehingga rakyat tidak kelaparan. Prabu Siliwangi mengingatkan, ancaman terbesar bagi manusia adalah ketika dia terlena dengan kejayaan dan lengah pada kenyataan di depan mata.
Oleh : Bang Sem Haesy
PRINSIP keadilan yang diwariskan Prabu Siliwangi dan Prabu SurawisÂesa tidak dilaksanakan dengan semesÂtinya. Diri yang terkuasai oleh tahta, harÂta dan wanita membuat nafsu membakar sedemikian rupa (kahuruan ku napsu) dan menyeret siapa saja lantak hanya sebagai raga tanpa jiwa.
Ajaran Prabu Siliwangi tentang nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba haÂnaang (makan sekedar melepas lapar dan minum sekadar menawar dahaga) terabaiÂkan. Sebagaimana halnya Ratu Dewata, Nilakendra yang menganut tantrayana (sangat percaya pada jimat dan mantra), ia pun lengah.
Pertahanan dan keamanan Pakuan yang diserahkan begitu saja kepada para komandan dan prajurit tanpa dibekali oleh arahan yang jelas dan logistik yang cukup, telah melemahkan posisi Pakuan. Rakyat yang lahannya diambil alih di era Ratu Sakti, mulai mengalami masa penderitaan yang panÂjang, miskin dan kelaparan. Dalam situasi itulah, laskar Banten yang dikerahkan MaulÂana Yusuf melakukan penyÂerangan.
Carita Parahiyangan menÂcatat, “Tohaan di Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan.†(Nilakendra kalah perang, dia telah pergi meninggalkan keraton). NilakÂendra mengungsi entah ke mana, dan ketika laskar BanÂten menyerang, prajurit dan rakyat Pakuan tak bisa berÂbuat banyak. Bahkan rakyat yang lapar menyambut gemÂbira.
Penyerbuan ke Pakuan diÂlakukan karena rakyat Pakuan dan Pajajaran yang telah lebih dulu mengungsi ke wilayah Banten, membawa berita buÂruk tentang perilaku NilakendÂra. Maulana Yusuf memandang, momentum penyerbuan itu tepat waktu, karena presumsi, bahwa sejak Ratu Dewata samÂpai Nilakendra, semua kebaiÂkan yang sudah ditanamkan oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa terhianati dan lenÂyap begitu saja.
Penyerbuan ke Pakuan yang selama ini tak pernah berhasil, kini berhasil dengan gemilang. Terutama karena Pajajaran sudah dalam kondisi bunga pralaya atau kaliyuga. Kondisi terburuk menjelang burak, yang juga dikenal denÂgan istilah burakna sarakan Sunda. Burak setar dengan runtag atau rusak. Situasi yang tidak diharapkan siapapÂun, tetapi menjadi kenyataan.
Pelajaran penting dari ceÂrita trilogi Ratu Dewata – Ratu Sakti dan Nilakendra adaÂlah hancurnya suatu negeri, tersebab oleh pemimpin yang acuh, pemimpin yang otoriter, atau pemimpin yang mabuk. Dampaknya adalah terjadinya situasi tak nyaman pada keÂhidupan rakyat.
Mulai dari situasi sepÂerti ‘ayam kehilangan induk’ sampai ke situasi terjadinya pemaksaan kehendak secara dogmatik yang tak membuka ruang komunikasi sosial. SituÂasi ini menyebabkan terjadinÂya kondisi, rakyat enggan berÂpartisipasi dan pemerintah salah tampa terhadap sikap kritis rakyatnya. Muaranya adalah kehancuran. Kokoro nyoso, malarat rosa, miskin harti suda kabisa, hirup teu neut, paeh teu hos.
Hancur karena penghiaÂnatan pada nilai-nilai luhur, isyarat dari Prabu Siliwangi: “Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba Sanghyang Çiksa.†Ajaran warisan leluhur dijunjung tinggi, sehingga tak kedatangan musuh besar atau kecil, baik berupa laskar mauÂpun penyakit batin. Senang sejahtera di seluruh penjuru angin. Yang tidak merasa seÂjahtera hanyalah keluarga yang serakah dan abai terhaÂdap Sanghyang Çiksa.