JAKARTA, Today—Masyarakat yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), khususnya karyawan menyimpan berbagai risiko. Apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maka harus siap-siap kena potongan pajak besar atas pesangon yang diterima.
Direktur Eksekutif Center for InÂdonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menjelaskan hal tersebut merupakan konsekuensi dari karyawan tersebut. Tarif Pajak PengÂhasilan (PPh) yang dikenakan bisa 20% lebih tinggi dari yang memiliki NPWP. “Konsekuensi dari tidak memiliki NPWP adalah terhadap pesangon yang diterima, dikenakan PPh Pasal 21 lebih tinggi 20% dari yang seharusnya,†ujarnya kepada detikFinance, Minggu (7/2/2016).
Aturan ini sudah berlaku sejak 2009. Tidak hanya ketika terkena PHK, dalam perhitungan pajak tahuÂnan, bila karyawan tidak memiliki NPWP maka juga akan dikenakan tarif 20% lebih tinggi.
“Dalam posisi kita sebagai karyawan kita akan mendapatkan keuntungan jika meÂmiliki NPWP yaitu terÂhindar dari pengenaan tarif 20% lebih tinggi sebagai akibat kita tidak memiliki NPWP, atas penghasilan berupa gaji, tunjangan, dan pengÂhasilan lainnya yang kita terima atau peroleh dari pemberi kerja,†papar Prastowo.
Maka dari itu, pentÂingnya untuk memiliki NPWP dan mengikuti prosedur kewajiban paÂjak dengan tepat. Mulai dari kepemilikan NPWP, penghitungan pajak, pembayaran dan pelaporan. Prastowo membantah bila banyak yang menyeÂbutkan NPWP adalah jebakan.
“Sering terdengar bahwa ber- NPWP adalah jebakan, karena ketika kita masuk ke administrasi perpajakan a k a n selalu dikejar-kejar dan hidup tidak tenang. Ini adalah mitos,†tegasnya.
“Justru sebaliknya, ketika kita menganut asas self assessment, di mana wajib pajak menghitung, menyÂetor, dan melaporkan sendiri kewaÂjiban perÂpajakannya, keputusan ada di pihak wajib pajak untuk bersikap terbuka dan jujur. Memang pemeriksaan diÂmungkinkan sebagai alat uji kepatuÂhan, tetapi prosedur untuk sampai ke pemeriksaan cukup panjang dan tidak mudah,†kata Prastowo.