BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menginginkan segala persoalan pupuk bersubsidi yang kerap sulit diakses masyarakat, dibenahi mulai dari h ulu hingga hilir dengan membenahi segala regulasi yang ada.
Oleh : ABDUL KADIR BASALAMAH | YUSKA APITYA AJI
[email protected]
Anggota IV BPK RI, Rizal Djalil mengungkapkan, pemÂbenahan regulasi diperlukan untuk menekan adanya pelaku pemÂbuat pupuk oplosan. “Definisi petani saja sudah salah denÂgan menyebut korporasi. KaÂlau begitu, menyerahkan ke korporasi tidak salah?,†tukas Rizal dalam seminar bertajuk ‘Subsidi Pupuk Masalah dan Solusi’ di Kampus IPB DramaÂga, Kamis (11/2/2016).
Hasil audit BPK Ri, kata dia, banyak regulasi yang salÂing bersinggungan antara satu keputusan menteri dengan lainnya. Misalnya, definisi petani penerima pupuk subÂsidi dalam UU Nomor 16/2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan KeÂhutanan.
“Ini salah satu yang konÂtroversial. Makanya perlu ada kontrol regulasi soal masalah ini. Ini bisa jadi masalah besar jika 30 persen saha subsidi puÂpuk masuk ke korporasi. Yang ada, petani tidak dapat apa-apa,†tukasnya.
Dalam audit lainnya, kata dia, ditemukan tujuan pembeÂrian pupuk subsidi yang tidak jelas, karena sasaran penerima subsidi tidak didefinisikan seÂcara lugas. Penyaluran pupuk bersubsidi, tidak tepat jumlah, tidak tepat harga, tidak tepat tempat, tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran. Bahkan penyalurannya mendahului alokasinya, melebihi RDKK, penyaluran di atas HET dan permasalahan lain di tingkat pengecer.
“Begitu banyaknya perÂsoalan ini, sehingga banyak penerima pupuk subsidi yang terlambat, bahkan sampai satu bulan,†katanya.
Sementara, Rektor IPB, Prof Herry Suhardiyanto menambahÂkan, kebutuhan pupuk sangat penting bagi petani, sayangnya ketersediaannya yang langka menjadi fenomena yang terus berulang setiap tahun, ditambah harga HET yang tinggi.
Masalah lainnya juga muncul dari ekspor pupuk ilegal baik melalui produsen pupuk itu sendiri maupun melalui penyeÂlundupan sering dengan peningÂkatan margin antara pupuk urea di pasar dunia dengan harga puÂpuk di pasar domestik.
“Lebih memprihatinkan, pupuk urea yang diekspor seÂcara ilegal adalah pupuk subsiÂdi yang merupakan hak petani kelompok masyarakat miskin,†katanya.