Penurunan suku bunga acuan BI atau BI Rate yang mulai diikuti penurunan suku bunga kredit dan deposito, dipastikan akan menggairahkan sektor riil. Ini berarti juga perekonomian Indonesia 2016 sudah bisa tancam gas mendongkrak pertumbuhan.
Oleh : Alfian Mujani
[email protected]
Sebelumnya, Bank IndoÂnesia (BI) memproyekÂsikan pertumbuhan ekonomi Indonesia diÂperkirakan pada rentang 5,2%- 5,6%, dengan bias ke bawah yang artinya lebih kepada 5,2%-5,3%. Namun setelah BI rate turun, maka ekonomi diÂproyeksi tumbuh 5,4%.
“Kita bisa melihat ekonomi pada arah tengah, yaitu 5,4%,†ungkap Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan MoneÂter BI, Solikin M Juhro di Hotel Trans Studio Bandung, Sabtu (20/2/2016)
Proyeksi tersebut memang jauh lebih tinggi dibandingkan realisasi 2015, yakni 4,79%. Dorongan utama tetap berasal konsumsi masyarakat yang maÂsih dapat tumbuh pada rentÂang 5%-5,4%.
“Lebih rinci memang sektor makanan yang masih bagus, ini sepertinya masyarakat IndoÂnesia doyan makan, baru keÂmudian jasa dan konstruksi,†jelasnya.
Pendorong lainnya adalah belanja pemerintah. Solikin menjelaskan, porsi belanja pemerintah terhadap perekoÂnomian nasional hanya 10%. Memang sangat kecil, tetapi dari belanja ini mampu menÂdorong komponen lain untuk tumbuh.
Misalnya untuk proyek pembangunan jalan. Saat proyek dimulai, maka swasta ikut bergabung dengan mengeÂluarkan modalnya. Kemudian proyek menghasilkan tenaga kerja baru yang berarti menambah daya beli masyarakat. “Perannya sangat penting walaupun porsinya kecil. Karena sebagai startup, dan yang lain itu pasti mengikuti,†tegas Solikin.
Akan tetapi ada risiko yang biÂasanya muncul ketika ekonomi Indonesia tumbuh tinggi. Adalah pelebaran defisit pada neraca tranÂsaksi berjalan (current account). Ini biasanya menjadi acuan investor sebagai fundamental perekonomian Indonesia.
Saat ekonomi tumbuh, karena pasokan barang belum tercukupi dari dalam negeri, maka akan ada pelonjakan impor. Lonjakan ini yang membuat adanya arus dana valuta asing (valas) keluar dari Indonesia lebih besar. “Konsekuensinya adalah current account defisit (CAD) kembali tinggi tahun ini. Kita mulai membanÂgun dan bangkit, ya pasti investasi akan tinggi sehingga CAD akan menuju di atas 2,5% di atas PDB,†paparnya.
Namun, Solikin menilai hal terseÂbut bisa diredam bila defisit diseÂbabkan oleh impor bahan baku dan barang modal untuk pembangunan infrastruktur.
“Maka kita mencoba memperkiÂrakan sekitar 3% itu masih suistanÂable. Kalau investor itu yakin di atas 3% nggak apa-apa, yang penting untuk pembangunan infrastruktur. Tapi kalau impor itu untuk barang konsumtif itu harus dihindari,†tuÂkasnya.
Penurunan Bunga Bertahap
Pada bagian lain Solikin menjelasÂkan, BI memang telah beberapa bulan lalu mengeluarkan pernyataan terkait adanya peluang dari pelonggaran kebijakan moneter. Akan tetapi, kebiÂjakan tersebut baru benar-benar tereÂalisasi pada Januari dan Februari 2016.
Solikin menjelaskan, sejak OkÂtober 2015, ada proyeksi tekanan ekonomi global mulai berkurang. Saat rupiah mulai kembali pada tren penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Ekonomi domestik juga tampak bergairah, setelah kuartal III-2015 realisasi pertumbuhan mencapai 4,73%. Kemudian inflasi terkendali pada level rendah dan defisit transÂaksi berjalan sudah diperkirakan di bawah 3% terhadap PDB. “Kita suÂdah menyampaikan keinginan untuk pelonggaran itu sejak Oktober,†unÂgkapnya.
Namun satu risiko yang mengkhaÂwatirkan adalah kebijakan suku bunÂga AS. Meskipun akhirnya setelah dinaikan pada Desember 2015 sebeÂsar 0,25%, rupiah justru mengalami penguatan.
BI kemudian memilih waktu penurunan suku bunga untuk pertaÂma kali pada Januari dari 7,5% menÂjadi 7,25%. Dilanjutkan pada FebruÂari sebesar 25 basis poin menjadi 7%. Ditambah dengan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) primer 1% menjadi 6,5%.
Alasannya dilakukan secara berÂtahap adalah kondisi investor pada pasar keuangan. Bila sekaligus dikhaÂwatirkan menimbulkan rasa kaget untuk para investor.
“Kita bisa saja langsung turunkan 100 bps atau 50 bps, tapi kita lihat pasar. Dia butuh penyesuaian. KebiÂjakan bank sentral di manapun itu memang sebaiknya bersifat graduÂal,†papar Solikin.
BI mencatat rata-rata penuÂrunan bunga deposito hanya 6 basis poin pada Januari 2016. Padahal di pertengahan Januari, pelonggaran kebijakan moneter sudah dilakuÂkan melalui penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 7,25%. “Januari sudah turun tapi maÂsih kurang, rata-rata itu cuma turun 6 basis poin, lebih kecil dibandingÂkan penurunan BI rate,†kata Solikin. BI memperkirakan dari kebijakan penurunan suku bunga akan mendoÂrong perbankan untuk tidak memaÂtok tinggi bunga deposito. Sehingga bisa sekaligus berdampak terhadap bunga kredit yang lebih rendah. “Ini sebenarnya sudah ada reaksi tapi belum seperti yang diharapkan,†ujarnya.
Ternyata permasalahan perbankÂan ada pada likuiditas. Pada kuartal IV 2015 tampak ada tekanan likuidiÂtas dikarenakan dorongan dari perÂtumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang ternyata lebih kecil dari perÂtumbuhan kredit. “Masalahnya ada pada likuiditas, ternyata uang yang disalurkan untuk kredit itu terbatas. Sehingga memang belum banyak peÂrubahan,†jelas Solikin.
(detik)