HARGAILAH pendapat orang lain”, demikian nasihat buruk yang dilantunkan kian kemari oleh para pegiat kerukunan sebagai kunci nada menuju dan atau memelihara masyarakat selaras penuh damai solidaritas. Menghargai pendapat, apabila perlu dinasihatkan dan diserukan, hanya berarti satu hal—orang yang dinasihati itu berpendapat bahwa pendapat yang disuruh-hargai itu tidak layak dihargai.

Oleh: Samsudin Berlian
Mantan wartawan, pengamat bahasa

Mengajak publik menghargai pendapat berarti mengajak orang banyak mengubah pendapat mereka tentang pendapat yang disuruh-hargai itu. Pada dirinya sendiri, ajakan itu ti­dak buruk. Bahkan, pada tataran personal, seruan itu persis sama nilainya dengan nasihat-nasihat luhur lain yang biasa diajarkan ke­pada anak-anak dan orang-orang prabijak. Akan tetapi, sebagai seruan kepada publik, sebagai ajakan agar penghargaan kepada pendapat orang lain dijadikan standar dan acuan bagi keberlang­sungan suatu masyarakat rukun, ia membawa serta tekanan atau stig­ma sosial terhadap mereka yang menolak, dengan alasan apa pun, menghargai pendapat orang lain.

Ketika penghargaan terhadap pendapat orang lain menjadi ide­al sementara penolakannya men­jadi stigma di dalam masyarakat, terjadilah hal-hal yang buruk. Antara lain, pertama, substansi pendapat itu sendiri menjadi tabu, tidak bisa lagi secara bebas dan terbuka diperdebatkan. Ini­lah yang telah terjadi misalnya dengan topik-topik yang dike­lompokkan ke dalam istilah han­tam-kromo SARA (sukubangsa, agama, ras, dan antargolongan). Pembicaraan tentang SARA tidak bisa berlangsung leluasa karena banyak orang merasa bahwa isi pembicaraan itu sendiri sudah merupakan sesuatu yang buruk.

Kedua, bahkan apabila sub­stansinya dibicarakan, orang ti­dak berani mengemukakan apa yang ada di dalam pikirannya. Dari luar sudah ditetapkan bahwa pendapat orang harus dihargai. Karena itu kritik menjadi anath­ema. Tidak terjadi pembicaraan yang jujur, melainkan terciptalah kamar-gaung yang di dalamnya setiap orang saling puji dan saling umpak.

Ketiga, sementara mereka yang berprihatin dan berkehen­dak baik justru takut berkata-kata dengan jujur dan terbuka, pem­bahasan real tentang topik-topik itu lalu dikuasai dan diarahkan oleh mereka yang tidak peduli kepada kerukunan masyarakat, yang hanya mau menang sendiri dengan menekan dan menindas kelompok-kelompok lemah yang berbeda dari mereka, yakni, ke­lompok-kelompok fanatik buta dan ekstremis tak berhati nurani. Mereka berkoar-koar meneriak­kan kebengisan terhadap minori­tas agama sementara para pe­cinta kerukunan hanya berbisik gagap tak tegap.

Keempat, tidak terjadi dialog efektif, karena tidak ada orang yang berhasil dibujuk untuk sam­pai pada kesimpulannya sendiri, bahwa pendapat yang semula tidak dihargainya itu memang ternyata layak dihargai. Hanya ada tekanan formal untuk meng­hargai, tapi tidak ada pencerahan substansial untuk sampai kepada penghargaan itu secara man­diri. Sementara jurang di antara mereka yang cinta kerukunan dalam kepelbagaian dan mereka yang haus kemenangan dalam keseragaman tetap gagal dijem­batani, mereka yang tidak meng­hargai pendapat orang lain, tapi berpotensi belajar banyak ten­tang keindahan keragaman, just­ru tak terjangkau dan tak terlibat. Sebab, bagaimanakah orang akan terbuka mempertimbangkan pendapat orang lain apabila sejak awal pendapat mereka—bahwa pendapat tertentu orang lain itu tidak patut dihargai—sudah tidak dihargai? Apa guna memulai dis­kusi apabila keputusan akhir su­dah tersimpul?

Ketika seruan “hargailah pendapat orang lain” dianggap nilai kebaikan yang selalu baik dan dengan sendirinya baik di dalam segala situasi kehidupan masyara­kat, ketika ia menjadi prasyarat kerukunan, maka ia menjadi se­ruan anti-logika, anti-intelektual, anti-akalbudi, anti-kebebasan pikiran, dan anti-kebebasan pendapat. Tentu saja, orang bebas menyerukan ajakan ini, baik dengan marah maupun dengan senyum. Tapi tuduhan di balik seruan itu tidak bisa disembun­yikan, yakni bahwa orang yang tidak menghargai pendapat orang lain adalah picik, sempit pikiran, atau bahkan berpotensi menggir­ing orang ke arah ekstremisme dan fanatisme berkekerasan.

Tuduhan implisit itu adalah racun di dalam seruan itu. Inilah sari racun itu: bahwa ajakan untuk menghargai pendapat orang lain dilandasi prinsip bahwa orang ti­dak patut memiliki pendapat tidak menghargai pendapat orang lain. Orang bebas berpendapat, kecuali pendapat bahwa pendapat terten­tu orang lain tidak pantas dihar­gai. “Hargailah pendapat orang lain”, dengan kata lain, adalah bahasa yang hanya pantas dipakai polisi pikiran.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Racun itu telah meresap ke dalam berbagai dialog kerukunan agama dalam bentuk ungkapan, “Hargailah agama orang lain” atau “Hargailah keyakinan orang lain”. Banyak orang mengalami kesulitan dengan seruan itu—dan di sini yang dimaksudkan bukan­lah ekstremis yang membunuh, melukai, mengusir, atau meng­hancurkan harta orang lain atas nama agama, melainkan orang-orang beragama yang “biasa-biasa”—karena adalah kenyataan yang meluas bahwa salah satu prinsip utama di dalam setiap ajaran agama adalah bahwa aga­manya adalah satu-satunya yang benar, atau paling benar, atau leb­ih benar daripada agama-agama lain mana pun. Bagaimanakah caranya menyuruh orang untuk secara prinsip akan menghargai agama yang secara prinsip sudah dia anggap keliru?

Oh, anda bilang apa? Bukan itu maksudnya? Kalau begitu bai­klah kita kaji perinci. Apa maksud seruan menghargai agama lain? Menganutnya? Tentu tidak. Menerimanya sebagai kebenaran? Bukan. Mengajarkannya kepada anak-anak? Amit-amit. Semua aga­ma sama saja? Mungkin sebagian orang percaya ini. Tapi slogan ini hanya layak ditanggapi serius apabila tiba harinya ketika Sri Paus mengucapkan Kalimat Sya­hadat dalam khotbah tahun baru­nya dan Salat Jumat ditutup dalam nama Tuhan Yesus Sang Juruse­lamat. Agama lain itu semuanya bermaksud baik sama seperti aga­maku? Iyalah, cuma agak keliru; agamaku, sedikit atau banyak, ma­sih lebih baik. Campur saja semua agama jadi satu agama super? Hanya kalau agama Taowedtrip­taurinqur sudah buka cabang di setiap pasar dan pelabuhan.

Mencari common ground? Bagus sekali. Tapi, pikirkanlah sejenak, itu justru berarti tidak menghargai pendapat orang lain. Fakta bahwa common ground perlu dicari kemudian dipupuk dan disebarkan adalah bukti bah­wa pendapat yang bisa dihargai itu sulit terlihat dengan sendirinya dan harus dipisahkan dan dikhu­suskan dari pendapat yang tidak dihargai. Jadi, mencari common ground berarti menguji dan men­gaji pandangan orang lain dengan kritis, menghargai yang patut dihargai, membuang yang tidak dihargai. Ini bukan menghargai pendapat atau ajaran orang lain begitu saja dari sononya.

Hanya apabila “pendapat un­tuk tidak menghargai pendapat orang lain” ikut pula dihargai— ketika seseorang yang semula ti­dak menghargai pendapat orang lain itu tetap bebas, tanpa stigma sosial atau intelektual, untuk sampai pada kesimpulan bahwa pendapat yang tidak dihargainya itu memang tidak layak dia har­gai—bisalah terjadi dialog yang jujur dan terbuka serta, insyaal­lah, berbuah kerukunan yang lebih luas. Sebab hanya di dalam kebebasanlah suatu penghargaan baru yang jujur bisa lahir dari dalam hati.

Ah, tapi bukankah itulah persisnya makna seruan “har­gailah agama orang lain”? Tidak sama. Pendapat, pikiran, ga­gasan, ide, apabila diwajibkan dihargai secara sosial atau, apa­lagi, secara legal, akan menjadi beku. Pendapat boleh dihargai. Pendapat yang sangat baik dan bagus biasanya mendapatkan posisi yang sangat tinggi di dalam pandangan masyarakat. Itulah keadaan yang baik—bahwa pendapat yang memang berharga akan dengan sendirinya dihargai, dan pendapat yang tidak berhar­ga akan mati.

Tapi pendapat tidak wajib dihargai dan tidak pantas diwa­jibkan dihargai. Pendapat tidak butuh toleransi. Pendapat boleh dikritik dicerca bahkan dihina. Sejarah masyarakat manusia su­dah sangat gamblang, tidak me­mungkinkan tafsiran alternatif lain: kemajuan hanya tercapai ke­tika pendapat dan semua sanak kandangnya seperti pandangan, filsafat, ideologi, dogma agama, tradisi, sains, diperlakukan den­gan penuh kecurigaan. Hanya di bawah tekanan kritik dan penen­tangan, pendapat yang berni­lai akan lahir dan berkembang, serta menghasilkan buah-buah manis bagi masyarakat yang ra­jin menguji setiap gagasan. Se­baliknya, ketika suatu gagasan dipermuliakan sebagai kewajiban di dalam suatu masyarakat, beku dan mundurlah masyarakat itu, bahkan mati. Dan jauh sebelum eksistensi fisiknya berakhir, ji­wanya sudah lama hilang.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Penghargaan, penghormatan, dan toleransi wajib ditujukan bu­kan kepada pandangan atau ga­gasan, melainkan kepada orang per orang, kelompok orang, hak milik orang, dan hak kebebasan orang, termasuk haknya untuk berpendapat apa saja, termasuk pendapat yang picik dan tak ber­nilai tinggi. Pendapat, termasuk pendapat ketua RT, presiden negeri, ketua parlemen, ulama, ilmuwan, mertua, siapa saja, sebaliknya justru harus terus-menerus diuji dan diasah; dan hak orang untuk menguji dan mengasah pendapat harus selalu dihargai, apabila diinginkan la­hirnya pendapat bernilai berlian dan matinya pendapat kualitas sampah, serta terciptanya suatu relasi yang jujur dan saling-hor­mat, bukan relasi saling-tekan dan saling-terkam, juga bukan re­lasi munafik saling-puja walau tak suka. Penghormatan dan peng­hargaan sejati justru terbukti ke­tika kita bisa berkata, “Aku tidak setuju pendapatmu. Aku tidak menilai tinggi ajaran agamamu. Aku tidak memuliakan agamamu. Aku tidak menyembah Tuhanmu. Tapi aku menghormati kamu, aku menghargai kamu yang me­miliki pendapat dan agama yang tidak aku hargai.” Penghormatan dan penghargaan itu mewujud di dalam bentuk pembiaran dan sokongan terhadap orang-orang berpandangan lain dan beragama lain untuk beribadah dan menga­jarkan, bahkan menyebarkan aja­ran-ajaran agama mereka. Apa­bila kita hanya bisa menghargai orang yang pendapatnya kita har­gai, penghargaan kita itu mudah dan murah; pada intinya kita ma­sih menuntut keseragaman. Tapi apabila kita menghargai orang yang pendapatnya tidak kita har­gai, di situlah letak toleransi dan kerukunan yang sebenarnya. Di situlah terletak keindahan perbe­daan dan keberagaman.

Para aktivis dan pejuang keru­kunan hendaklah berhenti meny­uruh orang menghargai agama orang lain. Bangunlah kerukunan agama di atas dasar kewajiban so­sial dan legal untuk menghormati orang, bukan menghormati aga­ma. Menghormati orang sebagai basis kerukunan beragama be­rarti menghormati hak orang un­tuk hidup, untuk memiliki rumah ibadah dan menyelenggarakan ibadah di tempat mana pun yang mereka miliki atau yang berhak mereka pakai secara legal, untuk menjalankan ajaran agama mer­eka sejauh tidak membahayakan orang lain atau milik orang lain secara fisik, termasuk untuk me­nyebarkan agama mereka kepada siapa pun.

Penghormatan dan penghar­gaan ini pun tidak cukup hanya di antara sesama pengikut aga­ma, melainkan harus mencakup mereka yang tidak beragama atau menolak agama. Manusia at­eis sama haknya, sama nilainya, sama berharganya, dengan ma­nusia teis. Persis sama! Stigma, bahkan kriminalitas, yang dike­nakan kepada ateis di negeri ini senyatanya adalah stigma dan kriminalitas yang melekat pada diri para teis itu sendiri, yang dengan angkuhnya, sambil me­rendah menghamba di dalam doa dan ibadah mereka, merasa berhak dengan angkuh mengang­kat diri sendiri menjadi hakim atas nama Tuhan di muka bumi untuk menentukan nasib orang lain. Mereka memohon-mohon surga dari Tuhan mereka dengan doa dan puasa, tapi begitu lutut dan jidat mereka lepas dari lan­tai seketika itu mereka dengan garang mengeluarkan surat kepu­tusan yang menentukan nasib orang lain: siapa ke surga siapa ke neraka, siapa merdeka siapa masuk penjara.

Hukum yang tidak mencer­minkan penghormatan kepada hak orang untuk beragama atau tidak beragama, untuk beribadah atau tidak beribadah, adalah hu­kum yang merusak kerukunan beragama. Selama hukum seperti itu dipelihara, selama itu pulalah penindasan terhadap kelompok-kelompok lemah—baik terhadap agama lain, aliran lain, agama asli Nusantara, maupun tanpa-agama—akan terus berlangsung, dilakukan oleh kelompok antitol­eransi, pejabat negara ekstremis, partai politik oportunis, dan oleh negara sendiri secara institusional.

Tuntutan untuk menghargai agama, ketika diterapkan oleh negara, selalu menjadi, telah men­jadi, dan akan menjadi tekanan untuk menghinakan dan menin­das orang-orang yang beragama berbeda, atau beraliran agama berbeda, atau tidak beragama.

Kerukunan beragama hanya akan mewujud, ketika berlaku prinsip bahwa agama ada untuk manusia, bukan manusia untuk agama.

sumber: satuharapan.com

============================================================
============================================================
============================================================