Untitled-11SAUDI, TODAY — Harga minyak du­nia pada perdagangan Rabu (17/2/2016) kembali anjlok setelah produsen minyak besar Rusia dan Arab Saudi menawarkan sedikit harapan untuk mengurangi pasokan dengan menyetujui ahan­ya untuk membekukan produksi jika eksportir besar lainnya bergabung dengan mereka. Seperti dikutip dari Reuters, Rabu (17/2/2016), harga min­yak brent turun sebesar USD1,21 menjadi USD32,18 per barel, setelah sebelumnya sempat naik di posisi USD35,55 per barel. Se­mentara, harga minyak AS turun 40 sen menjadi USD29,04 per barel dari sebelumnya yang sem­pat menyentuh cukup tinggi sebe­sar USD31,53 per barel.

Menteri Energi Qatar Mo­hammad bin Saleh Al-Sada mengatakan, langkah itu akan membantu untuk menstabilkan pasar minyak, yang telah mengal­ami penurunan harga yang tidak terlihat sejak awal 2000-an karena melimpahnya pasokan.

Di tempat lain, persediaan pada titik pengiriman Cushing, Oklahoma untuk minyak mentah berjangka AS naik hampir 705.000 barel selama sepekan sampai 12 Februari. Harga minyak telah jatuh lebih dari 70% dalam 20 bulan tera­khir, didorong penurunan produksi mendekati rekor baik dari Organ­isasi Negara Pengekspor Minyak dan produsen lain, seperti Rusia.

BACA JUGA :  Simak Daftar Pebulu Tangkis Indonesia di Thomas Cup dan Uber Cup 2024

Reli awal kemarin kehabisan tena­ga karena para investor menimbang kemungkinan terjadi pembekuan produksi, sementara Iran tetap absen dari pembicaraan dan bertekad untuk meningkatkan produksi.

Goldman Sachs, yang paling berpengaruh di Wall Street pada perdagangan minyak, sama-sama bearish pada rencana tersebut. “Tetap ada ketidakpastian tinggi yang bahkan terwujud, dalam pan­dangan kami,” ucapnya, kemarin.

Namun, para analis juga mem­peringatkan dari lonjakan harga dan volatilitas pasar dalam beberapa pekan mendatang harus ada indi­kasi produksi atau stockpile serius. Pada Jumat kemarin, baik brent dan harga AS melonjak masing-masing sekitar 12%, meroket dari posisi ter­endah dalam 12 tahun.

Gulung Tikar Massal

Setidaknya sepertiga perusa­haan minyak dunia berada pada risiko tinggi untuk bangkrut lan­taran harga minyak yang terus menurun. Kejatuhan harga min­yak telah membatasi belanja dan kemampuan membayar utang. Demikian hasil studi yang dihelat biro audit dan konsultan Deloitte.

Studi tersebut dilakukan ter­hadap lebih dari 500 perusahaan produksi dan eksplorasi migas di seluruh dunia. Deloitte menyoroti beberapa isu yang dihadapi pe­rusahaan minyak, seperti harga minyak mentah yang bertengger di level terendah dalam lebih dari satu dekade, marjin yang menipis, dan tekanan untuk memangkas bujet hingga pemutusan hubun­gan kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan.

BACA JUGA :  Cah Kangkung Ikan Asin, Menu Makan Sederhana saat Tanggal Tua

Setidaknya ada 175 perusa­haan yang berisiko bangkrut karena terlilit utang lebih dari 150 miliar dollar AS. Selain itu, nilai penjualan saham dan aset juga menurun se­hingga menghalangi kemampuan mereka untuk memperbaiki kas perusahaan. “Perusahaan-perusa­haan ini menunda keputusan pent­ing selama mungkin dan sekarang mereka dalam bahaya dan kini menuju ke kematian. Ini soal likui­ditas,” kata William Snyder, kepala restrukturisasi global Deloitte.

Akibat kondisi tersebut, para produsen minyak harus memang­kas bujet untuk tahun 2016. Dalam studi itu, Deloitte juga men­emukan bahwa perusahaan pe­nyedia layanan tambang minyak, yakni yang menyediakan staf dan peralatan yang diperlukan untuk mengebor sumur minyak cender­ung memiliki risiko yang lebih kecil untuk mengalami kebangkrutan ketimbang produsen. Pasalnya, produsen memiliki biaya modal dan utang yang lebih besar.

(Yuska Apitya/dtk)

============================================================
============================================================
============================================================