Darmin-Nasution-Menko-PerekonomianGEJOLAK harga pangan, khususnya cabai merah dan bawang merah yang mengalami kenaikan 16,31% dan 7,86% sepanjang Januari 2016, dianggap masih aman. Namun keduanya turut menyumbang inflasi dari sisi kenaikan harga bahan pangan.

YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]

Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Darmin Na­sution menyatakan bahwa kenaikan harga bawang dan cabai tak perlu terlalu dikha­watirkan. Sebab, kedua komoditas tersebut memang volatilitas harganya amat tinggi, naik turun setiap tahun.

Darmin menyebut kenaikan harga bawang dan cabai hanya fenomena sementara, harg­anya akan segera turun lagi. “Kalau kalian ingat, waktu kemarau yang agak panjang kemarin juga tiba-tiba harga cabai dan bawang naik. Tapi hari-hari ini sudah mulai turun lagi, jadi itu fenomena sementara saja,” kata Darmin di Kantor Kemen­ko Perekonomian, Jakarta, Selasa (2/2/2016).

Sebagai informasi, BPS pada Senin (1/2/2016) kemarin mengumumkan laju inflasi Januari 2016 sebesar 0,51%. Bahan pangan menjadi salah satu pemicunya. Kepala BPS, Suryamin menjelaskan, kontribusi bahan terhadap laju inflasi bulan lalu sebesar 2,2%. “Ada kenaikan daging ayam ras, telur ayam ras, bawang merah, bawang putih, beras dan daging sapi,” ujarny.

 Sementara itu, Kementerian Perda­gangan (Kemendag) mengungkapkan bahwa kenaikan harga cabai maupun bawang di bulan Januari adalah hal yang wajar, sebab siklus musimnya memang demikian, produksi bawang dan cabai pada awal tahun sangat rendah. Dit­ambah lagi ada faktor lain seperti peny­usutan di musim hujan dan sebagainya. “Memang waktunya harga cabai dan bawang naik. Kan iklim masalahnya. Apalagi musim hujan, petani menunda petik, ada susut di jalan, “ kata Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Srie Agustina, Selasa (2/2/2016).

Srie menambahkan, memang ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meredam volatilitas harga cabai dan bawang. Solusi pertama, dengan memperbaiki penanganan pasca pan­en cabai dan bawang. Perbaikan pasca panen akan membuat kualitas cabai maupun bawang lebih baik dan tahan lebih lama.

“Untuk cabai dan bawang kita me­mang memerlukan penyimpanan. Ha­rusnya setelah panen dikeringkan, kan harusnya ada gudang-gudang penger­ingan, sekarang ini kebanyakan hanya di rumah-rumah penduduk. Kita tidak bikin gudang skala besar untuk peny­impanan sampai kering. Dipetik 2 hari sudah dijual, kualitasnya jadi jelek, har­ganya pun jatuh di petani,” papar Srie.

Solusi kedua, harus ada pembangu­nan infrastruktur penyimpanan yang baik untuk cabai dan bawang. Dengan begitu, pasokan cabai dan bawang bisa lebih stabil, ada stok saat produksi se­dang minim. “Di setiap rantai harus punya infrastruktur pergudangan dan sebagainya, sehingga bawang merah misalnya bisa disimpan sampai 3 min­ggu, bisa dijadikan stok, saat harga naik dilepas,” ucapnya.

BACA JUGA :  Wajib Coba! Soto Ayam Bening Kuah Kaldu yang Segar dan Nikmat

Solusi ketiga, cabai yang ditanam di suatu daerah harus disesuaikan dengan selera masyarakat di sekitarnya untuk menghemat biaya distribusi. Penghe­matan biaya distribusi dapat membuat harga cabai dan bawang lebih murah. “Kadang juga varietas yang ditanam di suatu daerah itu tidak diminati di dae­rah itu sendiri. Misalnya di Lampung, varietasnya diminati oleh Sumatera Barat, padahal Sumatera Barat juga produksi cabai. Masyarakatnya minta cabai yang lain. Kementan harus su­dah mulai melakukan pemetaan itu dan menanam sesuai varietas yang diminati di daerah itu,” tutup Srie.Pembenahan Rantai Penyaluran

Panjangnya rantai pasokan meru­pakan salah satu penyebab mahalnya harga pangan di Indonesia. Menteri Perdagangan Thomas Lembong men­gakui ada masalah pada supply chain. Pihaknya pun berupaya membenahi rantai pasokan pangan.

Tapi menurutnya, rantai pasokan bukan penyebab utama tingginya harga pangan di Indonesia. Faktor utama pe­nyebab lonjakan harga pangan adalah kurangnya pasokan. Maka pertama-tama, pasokan harus dinormalkan ter­lebih dahulu.

“Kita harus mencoba menormalkan kembali situasi. Peredaran sapi tidak normal, ayam dan jagung tidak normal, selama kondisi tidak normal pasti ada gejolak. Pertama kita harus normalisa­si,” kata Lembong saat diskusi dengan media di Restoran Sari Minang, Jakarta, Selasa (2/2/2016).

Setelah pasokan normal, barulah rantai pasokan mulai dibenahi. Ma­salah pada rantai pasokan, menurut Lembong, terutama ada pada struk­tur pasar di sektor logistik Indonesia yang masih terlalu kaku dan tertutup. Dia menyarankan sektor logistik lebih dibuka agar tercipta persaingan yang mendorong penurunan tarif. “Kita ha­rus perhatikan logistik, yaitu angkutan dan pergudangan. Contohnya menurut saya sektor logistik itu masih terlalu tertutup, banyak kekakuan yang mem­buat sulit sektor logistik berkembang dengan baik. Misalnya sektor angku­tan, kereta api, masih resticted, swasta dilarang. Ini harus dibuka untuk swasta supaya lebih banyk investasi di situ,” ucapnya.

Kurang terbukanya sektor logistik ini membuat pelaku pasar di usaha logistik bisa semaunya, pelayanannya tidak inovatif untuk konsumen. “Ada satu kabupaten mengeluh nggak boleh bikin gerbong khusus pangan. Masak nggak ada cara? Kalau bisa dibuat itu kan memperlancar rantai pasok. Pasti ada cara untuk membuatnya memung­kinkan,” tutur Lembong.

Sedikitnya pelaku usaha di sektor logistik juga menyuburkan praktek-praktek persaingan tidak sehat di sek­tor pangan. Bila ada pelaku usaha di sektor pangan yang sekaligus berusaha di sektor logistik dan cukup dominan, pelaku usaha tersebut sangat berpe­luang untuk mengendalikan pasokan pangan. “Salah satu cara pelaku besar mendominasi itu dengan menguasai sistem logistik. Mereka punya rantai logistik sendiri, tertutup untuk pihak ketiga. Kalau sektor logistik terbuka un­tuk semua pihak, itu akan memperlan­car (pasokan pangan),” cetusnya.

BACA JUGA :  Kamu Penderita Diabetes tapi Ingin Makanan Manis? Coba Japanese Vanilla Cake Roll Ini

Selain masalah di sektor logistik, kekurangan infrastruktur juga mem­buat stabilitas pangan terganggu. Contoh kecilnya adalah kekurangan infrastruktur kelistrikan yang mem­buat cold storage tidak bisa dibangun di suatu daerah. Padahal cold stor­age sangat penting untuk menyimpan stok pangan. “Infrastruktur juga, kita mau bikin gudang pendingin listriknya nggak ada. Jadi memang harus ada pendekatan yang berkesinambungan. Listrik ada, baru yang lain bisa diban­gun,” tutupnya.

Terpisah, Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli, mengusulkan agar sistem kuota untuk impor pangan di­ganti saja dengan sistem tarif. Sebab, sistem kuota menyuburkan kartel, membuat banyak muncul ‘mafia pan­gan’ yang mengendalikan pasokan se­hingga dapat memainkan harga.

Lembong menyebut usulan Rizal Ramli tersebut sebagai konsep yang revolusioner. Bila usul Rizal Ramli tersebut diterapkan, perizinan di sek­tor pangan akan dirombak total. “Itu (usul Rizal Ramli) konsep yang rev­olusioner, kalau kita sepakat berarti perombakan total perizinan di sektor pangan,” kata Lembong.

Lembong menyatakan sangat setu­ju dengan usulan Rizal Ramli. Dirinya sependapat, banyak masalah yang tim­bul akibat penggunaan sistem kuota. Mekanisme pasar tidak berjalan den­gan baik akibat adanya kuota. Harga pangan pun menjadi tinggi dan kurang stabil. Dengan sistem tarif, pasar akan menjadi lebih bebas dan terbuka, per­saingan lebih ketat, pasokan menjadi lebih banyak, sehingga harga bisa dido­rong turun. “Saya sangat setuju dengan Pak Menko Kemaritiman bahwa banyak sekali masalah yang timbul dari sistem kuota, baik kuota resmi maupun tidak resmi. Logika sederhana saja, semakin suatu pasar dibuka dan semakin ada kebebasan, semakin lancar pasokan dan stabil harga,” paparnya.

Penggantian sistem kuota dengan sistem tarif dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah harga pangan di Indonesia. “Semakin pasar dibatasi, semakin pasar itu tipis, tidak ada mekanisme supply-demand yang baik,” ucapnya.

Karena itu, pihaknya akan segera mengubah tata niaga impor di sejumlah komoditas pangan, mengganti sistem kuota dengan sistem tarif. Dengan sistem tarif, siapa pun bisa mengimpor asalkan membayar tarif impor. “Se­lama memenuhi persyaratan higienis, lingkungan hidup, harusnya semua orang boleh berdagang pangan, ekspor impor,” tutupnya. (*)

============================================================
============================================================
============================================================