5situsgunungpadangTANAH adalah hal penting. Terutama tanah yang disakralkan dalam konteks pewarisan nilai-nilai kesundaan, yang kita kenal dengan is­tilah Kabuyutan. Dalam diskusi dengan beberapa teman kalangan penggiat pelestarian nilai budaya Sunda, berkembang dialog terkait dengan kabuyutan yang diamanahkan oleh Prabu Siliwangi.

Bang Sem Haesy

AMANAH itu antara lain me­nyebut, kabuyutan harus di­jaga dari segala kemungkinan direbut atau dimiliki orang asing. Bahkan, bila terjadi perang, salah satu hal utama yang harus dijaga adalah dan dipertahankan adalah kabuyutan.

Dalam hal mempertahankan kabuyutan, berlaku prinsip : ku­lit lasun (musang) yang berada di tempat sampah, jauh lebih ber­harga daripada raja yang tidak mampu mempertahankan ka­buyutan. Untuk apa?

Kabuyutan atau tanah yang disakralkan, di dalamnya melekat nilai sejarah, yang berfungsi sebagai wahana pendidikan bagi generasi ke­mudian (dari masa ke masa). Kabuyu­tan juga memberi ‘pelajaran’ tentang bagaimana para leluhur, buhun melaku­kan upaya kuat membangun lingkungan, sehingga berdampak kesejahteraan bagi rakyat. Komitmen dan konsistensi dalam membangun lingkungan, seperti dapat dipelajari dari tanah kabuyutan, mem­berikan isyarat perlunya memelihara dan mengembangkan lingkungan (fisik, sosial, dan budaya), agar generasi baru tidak mudah terombang-ambing oleh pe­rubahan.

BACA JUGA :  Resep Membuat Soto Ayam Bening Khas Solo yang Sedap dan Nikmat, Bikin Ketagihan

Lingkungan merupakan sarana un­tuk mencapai kesejahteraan dalam ke­hidupan (pakeun urang ngretakeun bumi lamba), jalan yang benderang (caang jalan), menyuburkan tanaman (panjang tajur), paka pridana (cukup sandang), bersih halaman rumah – mencerminkan kemuliaan (linyih pipir caang buruan).

Lingkungan yang baik (sehat, cerdas, sehingga mendorong lingkungan mam­pu secara ekonomi) dan dikelola secara tepat dan benar, akan membuat keluarga sejahtera, karena lahan menjadi produk­tif dan membuat kesejahteraan keluar­ga, tercermin dari lumbung yang terisi, kandang ayam terisi, ladang terurus, sa­dapan terpelihara, membuat hidup lebih lama karena selalu sehat. Seluruh peno­pang hidup juga berkembang: rumput, pohon-pohonan (termasuk pepohonan rambat) dan semak, hijau subur, dan segala pepohonan buah-buahan tumbuh. Hujan turun membawa berkah karena pepohonan tinggi menjadi hutan dan ke­bun yang subur, dan akhirnya membawa kesejahteraan dalam kehidupan.

Semua itu, tercermin dalam Sanghy­ang Siksakanda : Ini pakeun urang ngre­takeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana,5 linyih pipir, caang buruan. Anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi, paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowe6 waras, nyewana sama wong (sa)rat. Sangkilang di lamba, trena taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, land­ung tahun, tumuwuh daek, maka hurip na urang reya. Inya eta sanghyang sasana kreta di lamba ngarana.

BACA JUGA :  Turunkan Kolesterol dan Gula Darah Tinggi dengan Rebusan Daun Salam, Ini Dia Caranya

Alhasil, ketika bicara tentang kabuy­utan, yang pertama harus ada di benak adalah bagaimana kita berkomitmen ter­hadap lingkungan alam yang akan mem­bawa dampak kepada lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam konteks itulah, tradisi membangun lingkungan hijau semestinya menjadi bagian dari komitmen kita kini. Terutama ketika ter­jadi perubahan dahsyat fenomena alam, seperti perubahan iklim (climate chang­es), yang berdampak langsung – tak lang­sung pada penanggulangan kemiskinan, kesempatan berusaha (mencari nafkah), dan memberi dampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi..

============================================================
============================================================
============================================================