Untitled-12TARIF pajak yang diterapkan di Indonesia dianggap terlalu tinggi, sehingga membuat orang masih enggan membayar pajak. Ekonom, Aviliani mengatakan, ada baiknya pemerintah menurunkan tarif pajak untuk menarik minat masyarakat lebih patuh membayar pajak.

Oleh : Alfian Mujani
[email protected]

Lebih penting mana, men­genakan pa­jak setinggi-tingginya tapi sedikit yang bayar, atau pa­jak rendah tapi semua orang bisa bayar?” ujar Dr Aviliani, dalam diskusi perpajakan di Ba­lai Kartini, Jakarta, Kamis (10/3/2016).

Perlu diketahui target penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp 1.360 triliun. Ta­hun 2015 lalu realisasi penerimaan pajak hanya sebesar Rp 1.060 triliun, di bawah target yang ditetapkan Rp 1.294 triliun.

Untuk mencapai target penerimaan pajak yang tinggi itu, pemerintah bekerja keras mengoptimalkan sumber-sumber pa­jak baru. Ini justru membuat masyarakat antipati membayar pa­jak, lantaran menganggap besaran pajak yang harus ditangung semakin tinggi.

“Potensi pajak kita sebanrnya besar. Ada 50 juta orang kaya di Indonesia tapi yang jadi wajib pajak baru sekitar 23-24 juta saja. Ini kan yang perlu dipikirkan supaya yang sisanya mau bayar pajak juga,” tutur dia.

BACA JUGA :  Menu Makan Siang dengan Sop Buntut Sapi yang Empuk Dijamin Menggugah Selera

Dengan menurunkan besaran pajak diharap­kan lebih banyak masyarakat yang secara sukarela mau membayar pajak. Sehingga diharapkan real­isasi penerimaan pajak bisa lebih baik ketimbang seblumnya. “Jadi dari pada kita menetapkan pajak setinggi-tingginya, lebih baik tetap­kan pajak yang terjangkau tapi bisa banyak yang bayar. Jadi kalau di­kalkulasi nilainya lebih besar,” kata Anggota Komisi XI DPR, John Erizal dalam kesempatan yang sama.

Penerimaan pajak di Indonesia selama bertahun-tahun tak pernah mencapai target. Wakil Ketua Aso­siasi Pengusaha Indonesia (Apin­do), Suryadi Sasmita mengatakan, kendala utamanya adalah renda­hnya kesadaran masyarakat mem­bayar pajak.

Dalam diskusi yang diselenggara­kan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) di Balai Kartini, Jakarta, Suryadi mengungkapkan, rendahnya kesada­ran pajak ini akibat rendahnya pen­egakan hukum di Indonesia. “Mau contoh? Ada satu orang di Indonesia setop taksi sembarang di pinggir ja­lan. Orang yang sama ke Singapura, dia memberhentikan taksi antre kok. Apa salah orangnya? Nggak, ini ma­salah kepastian hukumnya,” tutur Suryadi.

Hal serupa, lanjut dia, juga terjadi dalam hal penegakan hukum perpa­jakan di Indonesia. “Ada pengusaha yang sudah terbiasa bisnis di luar negeri itu nggak ada yang main pa­jak, karena nggak bisa dimainkan. Kalau di Indonesia orang kenapa bisa main pajak, karena pajaknya bisa di­negosiasikan. Nggak ada kepastian hukum, kalau benar dapat reward, kalau salah dihukum. Semua bisa di­nego,” beber dia.

BACA JUGA :  Menu Makan Malam dengan Nasi Goreng Jamur yang Lezat dan Bikin Nagih

Untuk itu, agar masalah per­pajakan di Indonesia dapat dis­elesaikan, maka penegakan hukum menjadi salah satu cara yang wajib menjadi perhatian.

Selain itu, pelayanan perpajakan juga harus dibenahi agar saat mem­bayar pajak, seorang wajib pajak tidak perlu lagi direpotkan dengan prosedur yang berbelit dan merepot­kan.

“Kalau mau pajak kita beres maka kita haruskan 3 hal ini beres. Sistem­nya, IT-nya, dan SDM-nya. Sistem­nya harus pasti, tidak bisa dinego. IT, teknologinya harus maju. Jangan sampai kita bayar pajak kan effort (butuh usaha), tapi bayarnya repot. Kemudian SDM-nya. Sistem baik, teknologi maju, kalau manusianya nggak beres, semua nggak ada arti­nya,” pungkas dia.

(detikfinace)

============================================================
============================================================
============================================================