bambangsPADA kebanyakan warga masyarakat perkawinan diawali dari ikatan rasa cinta dua pribadi berbeda yang kemudian diwujudkan bersama dalam mahligai rumah tangga.

BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM

Seiring bergulirnya waktu dan munculnya berbagai kepentingan tiap orang yang beraneka ragam, perkawinan tidak hanya sekedar ikatan rasa cinta pasangan suami istri, tetapi juga bersatunya aspek finansial yang harus diperhi­tungkan secara rasional.

Memang dalam masyarakat tradisional membuat Perjanjian Perkawinan (Prenuptial Agree­ment) dianggap tidak etis serta kurang selaras dengan norma adat yang sekarang masih hidup dan terpelihara. Tetapi mengingat alasan di atas, khususnya di ling­kungan masyarakat perkotaan, membuat perjanjian perkawinan bukan hal yang tabu lagi. Terlebih lagi para pihak yang membuatnya telah mendapatkan payung hu­kum yang memadai.

Perjanjian perkawinan, sep­erti yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Ten­tang Perkawinan, adalah perjan­jian tertulis yang dibuat kedua belah pihak atas persetujuan ber­sama pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Isi perjanjian ini disamping mengikat pihak yang membuat juga pihak ketiga sepanjang terkait. Untuk membuat perjanjian perkawinan, dapat ditempuh melalui tahap sebagai berikut. Pertama, pikir­kan matang – matang untung rugi membuat perjanjian perkawinan. Kedua, para pihak (calon suami istri) harus setuju dan sepakat serta cakap/tidak terkendala un­tuk melakukan perbuatan hukum. Ketiga, menghadap ke notaris untuk dibuatkan akta notariil. Biasanya di Kantor Notaris telah tersedia draft perjanjian, tinggal para pihak yang berkepentingan menyesuaikan saja dengan kem­auannya. Keempat, akta notariil tersebut harus disahkan pegawai pencatat perkawinan. Prinsipnya para pihak bebas untuk membuat perjanjian perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan norma hukum, agama dan kesusilaan.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Manfaat perjanjian perkawi­nan diantaranya, untuk kepent­ingan perlindungan hukum terha­dap harta bawaan masing-masing suami ataupun istri; Menjamin kesejahteraan finansial bagi ked­ua belah pihak pasangan kawin, terutama anak – anak; Memberi kepastian hukum tentang pemisa­han utang, baik yang didapat se­belum/selama masa perkawinan, setelah perceraian, dan bahkan sesudah kematian pasangan; Di­jaminnya hak-hak atas aset-aset maupun harta yang dibawa se­belum/selama masa perkawinan dan setelah putusnya perkawinan tanpa harus melalui proses yang rumit, karena perjanjian perkawi­nan bisa dijadikan alat bukti pent­ing ketika terjadi konflik keluarga yang berujung perceraian; Serta bagi suami yang berkeinginan untuk berpoligami diperjanji­kan mengenai tempat kediaman, waktu giliran, dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dini­kahinya (pasal 52 KHI/ Kompilasi Hukum Islam).

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Namun demikian, bila kita memahami perkawinan sekedar urusan penyatuan finansial, maka tak ubahnya perkawinan hanyalah persekutuan dagang, yang sudah ba­rang tentu bukan menjadi tujuan mulia perkawinan itu sendiri. (*)

============================================================
============================================================
============================================================