KEMENTERIAN Keuangan mencatat ada sekitar 2.000 perusahaan berkategori Penanaman Modal Asing (PMA), yang ngemplang pajak 10 tahun terakhir. Perusahaan tersebut terbagi pada banyak sektor. Pemilik modal beralasan bangkrut, namun kenyatannya tidak.
YUSKA APITYA AJI
[email protected]
Kami juga melaporkan ada hamÂÂpir 2.000 PMA di Indonesia yang selama 10 tahun tidak membayar pajak,” kata Menkeu, Bambang Brodjonegoro, usai rapat kabiÂÂnet terbatas di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/3/2016).
Alasan yang selalu disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah perusahaan tersebut rugi. Akan tetapi kenyataannya berbeda dengan hasil perhitungan dan pemeriksaan DJP. “Selalu mengklaim dirinya rugi. Padahal menurut perhitungan atau pemerikÂÂsaan pajak, harusnya perusahaan terseÂÂbut membayar rata-rata Rp 25 miliar setahun,” ujarnya.
Menurut Bambang, hal tersebut merupakan bagian dari penggelapan pajak. Pemerintah memastikan akan segera melakukan penindakan tegas terhadap para pihak tersebut. “Ini juga bagian dari penggelapan pajak yang haÂÂrus dibereskan,” tegas Bambang.
Bambang mengaku telah memiliki data rekening semua orang Indonesia yang berada di luar negeri, dengan nilai mencapai ribuan triliun rupiah. RekenÂÂing tersebut berada di berbagai negara. “Kami sudah punya data mengenai rekÂÂening orang Indonesia di luar negeri,” tegas Bambangnya.
Bambang menuturkan, pada satu negara ada sekitar 6.000 rekening yang dimiliki orang Indonesia. Namun, BamÂÂbang tidak menyebutkan lebih rinci nama negara maupun bank yang dimakÂÂsud. “Bahkan di satu negara ada rekenÂÂing lebih dari 6.000 WNI punya rekening di negara tersebut,” terangnya.
Data ini yang jadi landasan bagi Bambang, untuk menelurkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Akan tetapi sayang, RUU Tax Amnesty masih butuh pembahasan dengan DeÂÂwan Perwakilan Rakyat (DPR). “TentuÂÂnya nanti dengan skema yang kita haÂÂrapkan bisa mulus yaitu pengampunan pajak, itu bisa kembali ke Indonesia atau paling tidak di-declare secara teÂÂgas,” papar Bambang.
Bila tax amnesty disahkan menÂÂjadi UU, maka pemilik rekening di luar negeri bisa punya kesempatan untuk memulangkan uangnya ke Indonesia dengan tarif yang rendah.
Bambang juga memaparkan pola penggelapan pajak yang berlangsung di Indonesia sejak dulu. Sampai ternyata ada banyak orang Indonesia yang meÂÂletakkan dana di luar negeri dengan niÂÂlai mencapai ribuan triliun rupiah.
Bambang menjelaskan, polanya adalah dengan mendirikan suatu badan dengan tujuan khusus (special purpose vehicle/SPV) di salah satu negara miÂÂtra, atau dengan berbagai cara lainnya sebagai suatu saluran atas penghasilan yang diperoleh di negara mitra lainnya.
Tujuannya SPV atau perusahaan ‘bentukan’ ini adalah, untuk memanÂÂfaatkan dan menikmati fasilitas perpaÂÂjakan yang disediakan dalam tax treaty antara Indonesia dengan treaty partner. “Polanya biasanya dibentuk special purÂÂpose vehicle (SPV) yang ada di berbagai tempat di dunia,” terang Bambang, usai rapat kabinet terbatas di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/3/2016).
Satu negara yang disebut Bambang sebagai area penerapan pola tersebut adalah British Virgin Island. Negara ini diketahui memang dikenal sebagai tax haven country atau daerah dengan pajak sangat rendah, sehingga banyak menjadi tujuan orang Indonesia. “Paling populer untuk Indonesia adalah British Virgin Island,” jelasnya.
Dana tersebut kemudian bisa diÂÂtempatkan pada British Virgin Island, namun juga dialirkan ke negara lain. Bambang menyatakan, sejauh ini piÂÂhaknya sudah mampu mendeteksi aliÂÂran dana tersebut. “Kami sudah idenÂÂtifikasi bahwa baik banknya maupun rekeningnya,” kata Bambang.
Secara akumulasi, Bambang meÂÂnyebutkan ada 2.000 SPV yang terkait dengan warga negara Indonesia. Atas dana yang ada di luar negeri, tidak ada dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak. “Ada 2.000 SPV yang terkait dengan ribuan nama WNI tersebut. Dan tentunya uang yang di sekian disimpan di sana belum tercatat sebagai aset yang dilaporkan di dalam SPT tahunan pajak,” tukasnya.
Ngumpet di Singapura
Singapura sangat menyadari potenÂÂsi orang kaya baru Indonesia yang tumÂÂbuh berkali-kali lipat setiap tahunnya sehingga Singapura berani menawarkan program perbankan yang lebih bervariÂÂasi, menjamin kerahasiaan nasabah dan mematok bunga bank yang relatif lebih kecil dibandingkan Indonesia.
Ditambah lagi dengan sistem ekoÂÂnomi yang lebih mumpuni daripada InÂÂdonesia serta adanya stabilitas politik, Singapura menjadi negara yang sangat strategis bagi para miliarder IndoneÂÂsia untuk mengamankan uangnya dan menghindari pajak penghasilan.
Jumlah aset kekayaan orang-orang kaya Indonesia di Singapura tidak tangÂÂgung-tanggung, mencapai 3.000 triliun rupiah dan ditengarai berkontribusi sebesar 30 persen sektor perbankan Singapura. Nilai itu belum termasuk dana atau aset perusahaan Indonesia yang berinvestasi di Singapura. Bila ditÂÂambah uang perusahaan bisa jadi USD 300 miliar lebih atau sekitar Rp 3.600-4.000 triliun. Jumlah yang sangat besar apabila digunakan untuk memperkuat cadangan devisa Indonesia
Bahkan, sebuah lembaga survei, Merrill Lynch-Capgemini menyebutkan sepertiga dari orang superkaya SingaÂÂpura adalah warga Indonesia. Dari 55 ribu orang sangat kaya di Negeri Singa dengan total kekayaan sekitar USD 260 miliar, 18 ribu merupakan orang IndoÂÂnesia.
Menariknya lagi, uang itu sebenaÂÂrnya tidak berhenti di Singapura, meÂÂlainkan disebar dari Singapura untuk menghidupkan aktivitas bisnisnya di Indonesia.
Sebut saja Martua Sitorus, melalui Grup Wilmar International Limited, peÂÂrusahaan kelapa sawit yang memiliki pabrik Biodiesel terbesar di dunia yang terletak di Indonesia. Atau Sukanto Tanoto yang mengendalikan PT. Garuda Mas International dari Singapura.
Kondisi ini kemudian melahirkan tuÂÂdingan banyak pihak yang mengatakan bahwa sebenarnya faktor penggerak utama ekonomi Singapura adalah miliÂÂarder Indonesia. Dengan kata lain, para pengusaha yang melakukan aktivitas bisÂÂnisnya dengan mengeruk dalam-dalam sumber daya alam di Indonesia tetapi keuntungannya dimanfaatkan oleh negÂÂara-negara jasa seperti Singapura.
Terkait kasus ini, Presiden Joko Widodo memerintahkan tiga langkah yang harus dipersiapkan dalam upaya pencegahan dan pengawasan terhadap aksi penggelapan pajak maupun pencuÂÂcian uang.
Hal ini merupakan hasil rapat terbaÂÂtas yang diikuti sejumlah instasi seperti Kementerian Keuangan, Direktorat JenÂÂderal Bea Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika NasiÂÂonal (BNN), Kepolisian RI, serta KementeÂÂrian Perindustrian di Kantor Kepresidenan pada Senin (21/3/2016) petang.
Pramono Anung, Sekretaris Kabinet menjelaskan rincian ketiga hal yang diÂÂperintahkan presiden yakni, pertama PPTAK, Ditjen Bea Cukai, Ditjen Pajak, serta BNN bersinergi dalam pengguÂÂnaan data dan informasi terkait wajib pajak (WP). Keempat instansi ini diÂÂperintahkan menggunakan data yang sama. (*)