DI ERA pasca modern dan superglobal, hukum kita mengalami degradasi luar biasa. Nyaris stagnan. Padahal, hukum tidak dapat dilepaskan relasinya dengan masyarakat dan kehidupan sosial. Manusia dikenal makhluk sosial (zoon politicon) yang bertingkah laku dan saling berhubungan dengan norma pengikat berupa hukum.
Oleh: W Hidayat Lbs
Aktivis dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pakuan
Fakta Pahit

Berbagai literatur menunjukkan, peran hukum dalam maÂsyarakat adalah instruÂmen pengatur pola perilaku masyarakat agar mampu meminimalisasi perbuatan yang merugikan orang lain. Apabila peran hukum itu berjalan dan maÂsyarakat melaksanakannya, termaÂsuk pemerintahnya, maka terjadi transformasi menuju masyarakat yang madani (civil society). DenÂgan begitu, hukum melembagakan tata nilai dan kehidupan masyaraÂkat, bangsa dan negara.
Masyarakat sudah pasti seÂjatinya menginginkan kehidupan damai. Nyaman dan tenteram dalam interaksi kehidupan soÂsialnya. Hal ini sudah pernah dipikirkan jauh sebelumnya oleh filsuf Cicero yang mengemukaÂkan, “bahwa suatu masyarakat akan hancur berantakan jika tiÂdak diikat oleh hukum†(Munir Fuady, Teori-teori Besar Hukum).
Namun senyatanya, cita dan impian indah Cicero tidak selalu mewujud. Meski ada hukum, namun ancaman berantakan masyarakat terbuka lebar ketika tidak konsisten hukum ditegakÂkan. Contoh konkritnya nampak kental pada kontroversi revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diduga untuk meÂlemahkan KPK.
Fakta pahit di atas memberiÂkan sinyal jelas, hukum tengah mengalami degradasi di IndoÂnesia. Berita muram ini sudah dibunyikan bukan hari ini saja, namun indikasi tersebut pernah diungkap oleh Sunaryati Hartono yang menyatakan bahwa sejak tahun 1960an keberadaan huÂkum sudah terus menurun (buÂkan hanya sekedar wibawanya). Pandangan pakar hukum di atas memberikan penegasan proses degradasi hukum tengah terus terjadi sehingga perlu upaya pembenahannya.
Marwah Hukum
Filsuf Thomas Hobbes pernah menulis lantang bahwa kehiduÂpan manusia dipenuhi ketakutan karena terpencil, miskin, keji, kasar dan singkat (Djohansyah, 2008:48-49). Tidak heran, situasi demikian, bagi Hobbes diseleÂsaikan dengan pentingnya kontrak sosial antar masyarakat. Dengan begitu, masyarakat menyerahkan hak untuk diatur pada negara seÂlaku pemegang kekuasaan.
Idealnya, penguasa pembuat hukum itu bertanggung jawab dan amanah sehingga pembenÂtukan hukum melalui proses poliÂtik melembagakan nilai keadilan sebagai bentuk marwah hukum. Namun sebagaimana ditulis ThraÂsymachus bahwa keadilan hukum seringkali bagi yang memiliki poÂsisi kuat. Hukum berpihak pada yang kuat.
Inilah yang harus didekonÂstruksi sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat hidup damai kembali. Bila hak-hak masyaraÂkat yang alami diserahkan pada negara maka negara atau penÂguasa memfungsikan hak-hak diserahkan tadi sebagai dasar legitimasi untuk mengembalikan hak diterima dalam bentuk perÂlindungan bagi individu-individu di dalam masyarakat agar hidup lebih baik.
Pada akhirnya, konsistensi penegakan hukum dari negara yang menjadi catatan krusial. Pertama, negara memiliki alokasi legitimasi kekuasaan menegakan hukum dan kedua, negara pula memiliki aparatus memaksakan hukum. Maka, negara harus mempelopori mengembalikan marwah hukum. Hukum tegak bagi siapapun.
Masa Depan Hukum
Kritik hukum Indonesia yang seringkali kata seorang guru besar M Koesnoe dalam Varia Peradilan (1993) sebagai hukum hibrida, hukum tempel sana sini, adat tidak dan barat pun tiÂdak perlu menjadi perenungan. Idealnya, hukum digali dari rasa keadilan masyarakat. Selain itu, penting membangun kesadaran hukum agar tidak selalu masyaraÂkat patuh karena takut sanksi.
Selain itu, negara sendiri haÂrus bekerja agar dapat mewuÂjudkan pemerintahan yang adil dan menegakan hukum adil tadi secara obyektif. Keadilan itu sendiri harus hasil dialog dengan pemangku kepentingan sebab seringkali ada benarnya pendapat Cicero yang menÂgatakan apa yang dipandang pemerintah sangat adil, justru bagi masyarakat menjadi sangat tidak adil (extreme justice is exÂtreme injustice). Harapan masih ada bila hukum menjadi kepentÂingan dan kerja kolektif semua pihak mewujudkannya secara otentik. (*)