SEBANYAK 60 persen kawasan konservasi Puncak telah beralih fungsi menjadi bangunan beton. Padahal, kawasan yang kerap disebut Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) ini seharusnya memiliki ruang terbuka hi jau hingga 80 persen.
Oleh : RISHAD NOVIANSYAH
[email protected]
Setidaknya, itulah yang digambarkan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Dadan RamÂdan, lewat pesan singkatnya, JuÂmat (18/3/2016). Ia pun meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan audit perizinan lingkungan hidup.
“Idealnya, 80 persen punÂcak itu kawasan hutan lindung. Nah, kalau sekarang terbalik. Justru 60 persennya merupakan bangunan-bangunan. Makanya Kementerian Lingkungan dan Kehutanan harus ikut berperan dan melakukan audit perizinan lingkungan hidup,†kata Dadan.
Menurutnya, Puncak Bogor- Cianjur merupakan kawasan tangkapan air, konservasi serta rawan akan gerakan tanah. Maka itu, kata Dadan, kawasan ini harus dilindungi dari praktik alihfungsi lahan dan pembanguÂnan komersial.
“Sekarang makin masih pemÂbangunan komersial. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Barat, Bopunjur itu Kawasan Strategis Provinsi (KSP) yang berfungsi lindung dan konservasi. Makanya harus dilindungi,†lanjut Dadan.
Terhantinya penertiban banÂgunan-bangunan liar di Puncak oleh Pemerintah Kabupaten BoÂgor, lantaran tidak adanya dana Bantuan Provinsi (Banprov) DKI Jakarta, bagi Dadan bukanlah seÂbuah alasan untuk menghalangi upaya penegakan hukum.
“Kan bisa dilakukan audit perizinan dulu. Tidak adanya Banprov DKI itu jangan samÂpai menghalangi upaya hukum dong. Harus ada juga upaya dari Pemprov Jawa Barat atau pemerÂintah pusat,†tukasnya.
Kepala Bidang Tata BanguÂnan pada Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman (DTBP) KabuÂpaten Bogor, Atis Tardiana menÂgatakan, masih tersisa sekitar 200 bangunan tak berizin yang belum dieksekusi di Puncak.
Pihaknya pun merekomenÂdasikan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) agar banguÂnan milik 304 orang itu segera dibongkar. Adapun, 151 kepeÂmilikan terdapat di Kecamatan Cisarua dan 153 di Kecamatan Megamendung. Saat penertiban pada 2013 di kecamatan itu, maÂsih menyisakan 199 orang.
“Kalau bangunan tak berizin teridentifikasi berdiri di ruang yang sesuai peruntukkan, pemiÂliknya hanya ditegur untuk menÂgurus perizinan. Masalahnya, semua bangunan itu berdiri di ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkan,†kata Atis.
Ia menambahkan, banguÂnan itu terklasifikasi tanpa izin dengan alas kaki yang belum jelas, berdiri di tanah negara dan harus dibongkar. Tidak ada penambahan bangunan baru yang terpantau sejak penertiban hingga kini.
“Adanya vila baru di Puncak yang berdiri di atas tanah warga dan titik yang diperuntukkan untuk pemukiman. Yang ada di tanah negara, kami terus pantau. Penambahan di tanah adat, di tanah warga, kami akui ada perÂizinannya ke sini Memungkinkan untuk diizinkan kok,†ujar Atis.
Ia menegaskan, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) lama, wilayah Cisarua dan Megemendung merupakan kawasan koservasi. Namun, dalam revisi RTRW yang tengah diverifikasi pemerintah pusat dan provinsi ada sedikit perubaÂhan di kawasan itu.
“Perubahan tidak signifikan dalam revisi RTRW Puncak. Hanya satu desa di Megamendung yang sudah terlalu padat penduduknya. Dulu kan disebut kawasan konÂservasi, tapi kantor desa, sekolah, puskesmas dan fasilitas lainnya berdiri disana,†katanya.
Pada pembongkaran tahun 2013, Satpol PP melakukan pemÂbongkaran menggunakan BanÂprov DKI sebesar Rp 2,1 miliar. Alokasinya pun dibagi Rp 10 juta per bangunan, sehingga Satpol PP hanya sanggup membongkar 200 bangunan.
Pemerintah Bumi Tegar Beriman pun kembali mengaÂjukan penganggaran Banprov DKI untuk menertibkan banguÂnan liar yang berfungsi sebagai vila itu. Kepala Badan PerenÂcanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Syarifah Sofiah membenarkan hal ini.
“Harus menggunakan banÂtuan dari luar Kabupaten Bogor. Karena prioritas APBD kita kan banyak. Makanya, 2016 ini kita usulkan lagi untuk hibah penertÂiban vila liar,†kata Syarifah.
Ia menegaskan, menÂjamurnya bangunan di kawasan konservasi Puncak kerap dikaitÂkan sebab bencana banjir di DKI Jakarta. Ia mengakui, maraknya pembangunan di Puncak diÂlatarbelakangi tidak adanya ranÂcangan pembukiman yang jelas.
“Ada peluang dari DKI, kita manfaatkan. Sementara dana dari Pemkab, kita perbaiki sekoÂlah dan kemiskinan,†ujarnya.