MENTAL pengemis berbeda dengan pengemis betulan yang sering ditemukan di pinggir jalan atau di tempat umum yang menadahkan tangan untuk meminta belas kasihan. Namun, mental pengemis tepatnya adalah mental yang selalu resah harta, selalu merasa kurang, dan selalu khawatir dengan masa depan. Kata “resahâ€Â menjadi kunci di sini.
Oleh: Ahmad Agus Fitriawan
Guru MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor
Warna jiwa iniÂlah yang diÂyakini telah menjadikan banyak orang memiliki mental pengemis. MenÂtal ini tidak bergantung pada harta, kelas, profesi, usia, jenis kelamin, atau jabatan. Artinya karena ini menyangkut mental, maka miskin dan kaya sama-saÂma bisa memiliki mental pengeÂmis, jika jiwanya resah dan selalu merasa kurang. Membahagiakan anak, istri, dan keluarga,biasanya menjadi alasan yang klise untuk mental ini.
Saat ini yang memiliki sikap mental pengemis bukan yang pakaiannya compang-camping dan badannya lusuh serta berbau. Tetapi sebaliknya orang-orang yang secara fisik berpenampilan glamour dari golongan elite, priÂyayi, kaya raya, terpelajar, dan para pejabat, bisa jadi terjangÂkiti sikap mental pengemis. IniÂlah yang berbahaya. Mereka seÂlalu mencari jalan instan untuk memperkaya diri. Tidak segan-segan menjilat kiri-kanan sekaÂdar untuk mendapatkan proyek, mengemis jabatan, menyalahguÂnakan jabatan dan kekuasaan unÂtuk memeras rakyat secara halus.
Orang yang bermental pengeÂmis yakin bahwa harta duniÂawi yang banyak akan membuat ia lebih bahagia. Harta itu bisa menyelesaikan segala perkara. Kehormatan, prestise, masalah, dan bahkan kebahagiaan bisa diselesaikan dengan harta. Orang yang bermental pengemis jauh dari mental yang percaya akan kelimpahan. Orang yang berÂmental pengemis sangat anti untuk memberi. Kalau bisa, seÂtiap kesempatan yang dia dapat bisa mendapatkan keuntungan. Orangnya tak mau rugi. Orang seperti ini akan berpikir dua kali kalau disuruh menyumbang. Bagi mereka memberi itu akan menguÂrangi jatah mereka. Dengan memÂberi artinya yang sudah ada menÂjadi berkurang. Karena itu lebih baik ia menerima karena artinya pasti akan terus bertambah.
Demikianlah mental pengeÂmis, yang sering memicu maÂsalah. Berarti, gemar meminta-minta itu jelas faktor mental, bukan faktor miskin atau kaya. Bukti lain, banyak orang yang hidupnya sederhana tidak mau dan ogah meminta-minta. MerÂeka lebih mempunyai harga diri untuk tidak menjadi pengeÂmis. Mereka sangat malu kepaÂda Allah, mengingat karunia yang diterima lebih banyak ketimbang musibah yang sedang diterima. Karena itulah, senjata yang merÂeka andalkan adalah usaha tanpa kenal lelah disertai doa dan sabar.
Mental pengemis ini amat rentan menimbulkan banyak maÂsalah. Akan lebih bermasalah lagi jika ia berkolaborasi dengan menÂtal serakah. Maka yang terjadi kemudian, banyak orang berkeÂlimpahan harta, dengan gaji dan fasilitas yang memadai, masih gemar meminta-minta, bahkan menghalalkan segala cara.
Tidak ada orang yang mau hidÂup susah. Namun, bila lantas menÂginginkan enak tanpa mau beruÂsaha, itu namanya tak mempunyai harga diri. Bila seorang manusia tanpa martabat disebut apakah dia? Orang dihargai karena dia mempunyai hati yang mau memÂberi dan mau berbagi, bukan hanÂya menadahkan tangan belaka.
Sebaliknya bagi orang yang mental berkelimpahan memÂpercayai bahwa semesta yang diciptakan Tuhan ini tak pernah kekurangan. Rejeki selalu ada. Karena itu orang yang mentalnya percaya akan kelimpahan akan sangat senang memberi. Karena dengan memberi, rejeki mengalir datang. Prinsipnya diberikan buÂkannya berkurang malah ia datang berlipat ganda, berkelimpahan.
Memberi bukan selalu dalam bentuk harta. Memberikan ide, gagasan, waktu, tenaga, pikiran, saran, kemampuan. Kerelaan dalam memberi menjadi kunci bagi pribadi berkelimpahan. Allah berfirman: “Jika kamu menamÂpakkan sedekah, maka itu baik sekali. Dan jika kamu menyemÂbunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghaÂpuskan darimu sebagian kesalahÂan-kesalahanmu, dan Allah menÂgetahui apa yang kamu kerjakan.†(QS. al-Baqarah [2] :271).
Jelaslah, kemiskinan buÂkan aib. Saatnya orang beriman mampu mengikis mental pengeÂmis dari sanubari. Tanamkan kalimat berikut dengan manÂtap: biar miskin, aku pantang mengemis! Jadilah orang kaya, kaya ilmu, kaya harta, kaya amal. Berapa pun ilmu yang kita punÂya, berapapun harta yang kita miÂliki, kita harus mengamalknnya, membaginya tidak akan menguÂrangi jumlahnya. Ilmu dan harta adalah titipan Allah yang akan berlipat ganda jika kita membagÂinya dengan orang yang membuÂtuhkannya.
Mari kita instropeksi jangan-jangan sikap mental pengemis itu ada pada diri kita. Apabila ada, mari kita perangi. Inilah jihad yang sungguhnya. Bersungguh-sungÂguh secara totalitas memerdekan diri dari ketergantungan orang lain. Tempat bersandar kita hanya kepada Allah swt.
Di zaman Nabi saw. ada kisah yang menarik. Seorang sahabat melihat pemuda yang kuat dan giat bekerja, kemudian dia nyÂeletuk: “Alangkah mulianya seanÂdainya pemuda ini mau berjihad maju berperang di jalan Allahâ€, Nabi menjawab: “Jangan kalian mengatakan demikian. SesungÂguhnya bila dia bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka dia berada di jalan Allah. Bila dia bekerja untuk kedua orang tuanÂya yang sudah lanjut usia, maka dia juga berada di jalan Allah. Dan jika pun dia bekerja untuk dirinya sendiri guna menjaga dirinya dari meminta-minta (mengemis), maka dia pun berada di jalan AlÂlah. Dan jika bekerja karena riya dan menyombongkan diri, maka dia berada di jalan setan†(al-HaÂdits). Wallahu’alam. (*)