PENERAPAN suku bunga acuan 0% oleh Bank Sentral Eropa (ECB) dipastikan berdampak terhadap pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia. Apa dampaknya
Oleh : Winda Herviana
[email protected]
Menteri Keuangan BamÂbang Brodjonegoro menjelaskan secara logika sederhana, ketiÂka negara maju seperti Eropa menerÂapkan suku bunga rendah atau negaÂtif, maka investor di negara tersebut akan mencari negara lain untuk penÂempatan dana.
Seperti yang dilakukan Amerika Serikat (AS) beberapa tahun lalu. Banyak investor yang kemudian memilih menempatkan dana di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Sehingga kemudian terÂjadi capital inflow dan rupiah begitu perkasa.
“Waktu itu imbasnya lari ke emerging economy termasuk kita yang nikmati manfaat pada waktu itu,†jelas Bambang di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (11/3/2016).
Persoalan yang terjadi sekarang, sangat berbeda. Bambang menÂgatakan, saat Eropa begitu juga JeÂpang menerapkan suku bunga renÂdah, dana tidak tiba-tiba mengalir deras ke negara berkembang. Hal ini dikarenakan AS juga membutuhkan dana untuk mendorong lagi perekoÂnomiannya.
Maka dari itu, ada kenaikan suku bunga acuan sejak akhir tahun lalu. Walaupun sekarang tahapan kenaiÂkan tersebut ditunda. “Pada saat yang sama AS akan sedang berusaha menarik. Kondisinya beda sekali, dampaknya ke kita ya,†terang BamÂbang.
Agar arus modal asing bisa maÂsuk ke Indonesia, Bambang menilai perlunya sentimen positif dari dalam negeri. Di antaranya adalah dengan perbaikan fundamental ekonomi secara berkelanjutan. “Kalau bicara inflow secara umum, akan lebih pada kondisi fundamental kita,†paÂparnya.
Bambang menilai, investor sangat selektif dalam penempatan dana. SeÂhingga tidak bisa hanya diam untuk menunggu dana tersebut masuk ke pasar keuangan.
“Jadi tidak bisa seperti dulu, di mana emerging economy nggak liÂhat fundamentalnya, semuanya diÂdatengin oleh inflow. Kalau sekarang mereka sangat selektif, kondisinya beda,†tukas Bambang.
Seperti diketahui, Bank Sentral Eropa (ECB) suku bunga acuan menÂjadi 0%. Tujuannya merangsang perekonomian negara-negara di kaÂwasan tersebut.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo, melihat reaksi pasar yang beragam atas keputusan ECB. Sehingga hal ini perlu diamati lebih intensif.
“Kami juga sudah dengar ECB putuskan potong 10 bps lagi dan menguatkan statement untuk tidak keluarkan. Kami lihat reaksi pasar berbeda-beda. Ini perlu kami amati,†ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, JuÂmat (11/3/2016)
“Karena di pasar dibaca artinya dalam bentuk stance moneter suÂdah tidak kan dilakukan suatu benÂtuk easing lagi. Artinya yang sudah negatif tidak akan diturunkan,†jelas Agus.
Terhadap nilai tukar rupiah, Agus menilai fokus yang perlu ditujukan adalah pembenahan ekonomi secara nasional. Tidak hanya BI melainkan juga pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Di Indonesia, koordinasi antara pemerintah yang awasi sektor riil bersama dengan fiskal dan BI berÂsinergi. Kalau sandainya ikuti paket kebijakan reformasi oleh pemerinÂtah dilakukan koordinasi yang baik dan juga ajak moneter juga,†pungÂkasnya.
Beberapa waktu lalu, bank sentral negara-negara maju telah menerapÂkan suku bunga acuan di level renÂdah bahkan negatif. Kebijakan terseÂbut dilakukan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi yang selama ini stagnan.
Sebut saja Jepang. Belum lama ini, bank sentral negeri Sakura terseÂbut menerapkan suku bunga negatif. Sementara itu, bank sentral Eropa atau European Central Bank (ECB) memutuskan untuk memangkas suku bunga acuannya di level 0% pada Kamis (10/3/2016) waktu seÂtempat.
“Kalau Eropa dan Jepang mempuÂnyai suku bunga negatif, kemudian melonggarkan kebijakan moneter, melakukan stimulus moneter, maka berinvestasi bagi investor pasar modÂal di sana menjadi kurang menarik. Sehingga kemudian mulai masuk dan akan kembali ke emerging marÂket,†ujar Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, saat ditemui di Gedung BI, Thamrin, Jakarta, Jumat (11/3/2016).
Dia menjelaskan, stimulus monÂeter melalui pemangkasan suku bunga acuan dilakukan bank sentral negara-negara maju untuk menggenÂjot perekonomian mereka. Selama ini, masyarakat di sana cenderung malas melakukan konsumsi.
“Di sana itu yang terjadi bukan inflasi tapi deflasi. Deflasi yang berkepanjangan. Itu malah memÂbuat produsen menjadi tidak seÂmangat untuk melakukan produksi. Sehingga konsumen malah tidak melakukan konsumsinya. Nah, itu yang terjadi di Eropa kemudian JeÂpang. Sehingga yang mereka lakuÂkan adalah stimulus moneter,†jelas dia.
Melalui stimulus moneter terseÂbut, kata Mirza, ditujukan agar perÂbankan mau menyalurkan kreditnya untuk mendorong tingkat konsumsi di masyarakat. Tapi permasalahÂannya di Eropa dan Jepang adalah perbankan mau menyalurkan kredit tetapi permintaan kreditnya tidak terjadi.
“Karena itu tadi, konsumen meÂlihat bahwa harga akan turun terus dan mereka tidak melakukan konÂsumsi. Dan produsen menjadi tidak berproduksi. Dengan tidak melakuÂkan produksi sehingga tidak memerÂlukan kredit,†paparnya.
Nah situasi tersebut, lanjut MirÂza, pengaruhnya terhadap negara emerging market di Asia kembali lagi adalah pasti kepada aliran modÂal. Karena jika Eropa dan Jepang mempunyai suku bunga negatif, kemudian melonggarkan kebijakan moneter, melakukan stimulus monÂeter, maka berinvestasi bagi investor pasar modal di sana menjadi kurang menarik. Sehingga kemudian mulai masuk dan akan kembali ke emergÂing market.
Sementara di Amerika Serikat (AS), tampaknya akan menunda kenaikan suku bunga yang ke-2, tidak terjadi di bulan Maret. Tapi, kemungkinan terjadi di semester II-2016. Bahkan, mungkin saja terÂjadi di kuartal IV-2016. Maka, tekanÂan pembelian dolar AS menjadi berkurang. Itu mengapa sekarang Indonesia mengalami capital inflow kembali.
“Tapi tentu ada faktor dalam negeri juga. Faktor dalam negerÂinya, angka inflasi kita cukup baik, angka neraca pembayaran kita cukup baik, angka rate balance perkiraannya membaik. Kemudian ditambah lagi dengan pemerintah sangat serius melakukan deregulasi berbagai paket untuk sektor riil,†jelas dia.
Mirza menambahkan, deregulasi pemerintah ini dalam rangka mengÂgairahkan sektor riil, supaya terÂjadi permintaan kredit. Di saat berÂsamaan BI melakukan pelonggaran moneter, melakukan penurunan giro wajib minimum (GWM), dan juga menurunkan suku bunga. “Maka akan terjadi pertumbuhan kredit yang lebih baik untuk ke depannya,†pungkasnya.