maxresdefaultLembaga Penjamin Simpanan (LPS) tidak cukup punya banyak dana untuk bisa menyelamatkan negara ketika sedang dilanda krisis sistem keuangan. Dengan total dana yang ada sekarang, maka sulit bagi LPS untuk menyelamatkan perbankan.

Oleh : Winda Herviana
[email protected]

Kepala Eksekutif Lem­baga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan menuturkan, cadangan penjami­nan LPS harusnya 2,5% dari total Dana Pihak Ketiga (DPK) atau sebe­sar Rp 100 triliun. Sementara seka­rang baru mencapai 1%. “UU menyatakan cadangan kita harus 2,5% dari DPK, dan un­tuk sementara itu masih 1%,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Ka­mis (10/3/2016).

Dengan dana yang ada, Fauzi men­gaku, hanya bisa mengatasi perbankan dalam keadaan sistem keuangan nor­mal. “Kan harusnya 2,5%, kalau nggak ada krisis ya cukup,” paparnya.

Maka dari itu, dalam RUU PPKSK ditekankan upaya bail in. Di mana men­goptimalkan upaya pencegahan terha­dap perbakan yang tengah bermasalah bahkan sebelum krisis datang.

Di antaranya adalah ketika ada permasalahan kekurangan likuiditas, maka pemilk bank bertanggung jawab dengan menyuntikkan modalnya. “Kita koordinasi dengan OJK, seber­apa cepat OJK bisa mener­apkan prinsip bail in,” ujarnya.

BACA JUGA :  Cemari Aliran Sungai Ciliwung, Gudang Bahan Baku Sabun di Kota Bogor Disegel

Usulan Baru

Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjo­negoro akhirnya mengajukan usu­lan baru dalam Rancangan Un­dang-undang (RUU) Pencegahan dan Pen­anganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) atau sebelumnya disebut Jaring Pengaman Sistem Keuangan ( JPSK).

Bambang menjelaskan alasannya adalah untuk mempertegas konsep bail in. Di mana mengoptimalkan pencega­han terhadap perbankan yang berma­salah, bahkan sebelum krisis sistem keuangan melanda.

“Perkembangan global saat ini ma­salah sistem keuangan. Kalau untuk menjaga stabilitas keuangan yang diu­tamakan adalah bail in. Kenapa? karena banyak pengalaman bailout yang tidak berujung baik, makanya semua ke bail in,” ungkap Bambang usai rapat den­gan komisi XI di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (10/3/2016).

Pencegahan, kata Bambang, adalah dengan menekankan tanggung jawab terhadap pemilik bank agar menyiap­kan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Bila itu adalah masalah li­kuiditas, maka pemilik harus segera menyuntik bank dengan seluruh dana yang dimiliki. OJK akan menjadi penga­wasnya.

“Bail in artinya bank, uang besar yang sistemik harus punya modal be­sar dan mempunyai indikator-indikator lain yang lebih dari yang biasa. Dan kalau ada gangguan di bank tersebut, maka yang bertanggung jawab dahulu adalah pemegang saham atau pemilik bank,” papar Bambang.

BACA JUGA :  Ngaku Guru Agama, Pria Makassar Nyamar Pakai Cadar Berbaur dengan Akhwat di Masjid

Kemudian, aturan tersebut juga tidak memberikan ruang bagi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) digunakan untuk me­nyelamatkan bank. Walaupun konsep awalnya hanya dipinjamkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

“Kita tidak ingin APBN terekspos terhadap permasalah krisis sistem keuangan, makanya UU tidak mencan­tumkan APBN sebagai sumber penda­naan. Jadi, itu yang menjadi dasar kita melakukan perubahan di beberapa pasal,” tegasnya.

Akan tetapi dalam kondisi yang san­gat darurat, maka akan dilakukan rapat Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk memberikan rekomenda­si kepada Presiden. Presiden yang akan memutuskan langkah selanjutnya.

“Kalau kondisinya sudah begitu berat tentunya ketika presiden mene­tapkan langkah penanganan krisis ten­tunya sudah disiapkan hal-hal yang di­tentukan. Memang presiden tentunya punya kewenangan untuk mengambil langkah diperlukan saat kondisi daru­rat. Presiden bisa menolak atau meneri­ma,” pungkasnya. (dtc)

============================================================
============================================================
============================================================