bambangsSECARA sederhana euthanasia diratikan sebagai upaya mengakhiri hidup pasien yang mengalami penyakit berat dan menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan, yang secara medis sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Euthanasia disebut pula sebagai mercy killing atau dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang karena rasa belas kasihan.

BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM

Menurut Kartono Muhammad, eu­thanasia dibeda­kan menjadi lima bagian, yakni: euthanasia pasif, mempercepat kematian pasien dengan cara me­nolak/menghentikan pertolongan biasa yang tengah berlangsung; euthanasia aktif, upaya aktif mengakhiri hidup pasien; eutha­nasia sukarela, mengakhiri hidup pasien atas dasar persetujuan dan permintaan pasien; euthanasia ti­dak sukarela, upaya mengakhiri hidup pasien tanpa adaanya per­mintaan dan persetujuan pasien; serta euthanasia nonvolountary, upaya mempercepat kematian pasien seperti yang diinginkan oleh pasien sendiri atau pihak ke­tiga, atau atas keputusan pemer­intah.

Deklarasi Lisabon 1981, telah menegaskan bahwa euthanasia dari sudut pandang kemanusiaan dapat dibenarkan, dan meru­pakan hak bagi pasien yang men­derita sakit yang tidak dapat dis­embuhkan. Sekalipun deklarasi di atas memungkinkan adanya euthansia, namun dalam praktik medis ternyata hal tersebut sulit untuk dilaksanakan. Hal ini kare­na dokter terikat oleh kode etik, yang menuntut bahwa dokter wajib membantu meringankan penderitaan pasien, sedangkan mengakhiri hidup pasien secara sengaja adalah perbuatan yang melanggar kode etik itu sendiri. Juga di beberapa negara praktik euthanasia merupakan pelangga­ran hukum dengan sanksi pidana yang berat.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Sejalan dengan hal terse­but Hippocrates, sering disebut Bapak Ilmu Kedokteran, per­tama kali menggunakan istilah “euthanasia” pada Sumpah Hip­pocrates, yang salah satu lafalnya berbunyi : “Saya tidak akan me­nyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimin­takan untuk itu”.

Namun demikian, di negara Belanda tindakan euthanasia telah mendapatkan legalitas hu­kum. Tentunya dengan syarat, prosedur dan ketentuan yang teramat ketat karena menyangkut nyawa manusia yang amat ber­harga. Syarat yang dimaksud, di­antaranya penyakit yang diderita pasien, menurut pertimbangan medis, sudah sedemikian parahn­ya dan tidak ada lagi tindakan maupun pengobatan untuk bisa menyembukannya. Harga obat tidak terjangkau oleh pasien atau keluarga yang menanggungnya. Serta pasien mengalami kesakitan dan penderitaan yang luar biasa.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Di negara kita euthanisia, merupakan tindak pidana di­mana pelakukanya dapat dian­cam dengan sanksi pidana sep­erti yang diatur dalam Pasal 338, 340, 344, 345, dan 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dari beberapa ketentuan pasal di atas, akan kami papar­kan dua pasal saja, selebihnya bisa dilihat sendiri pada KUHP. Pasal 338 KUHP menegaskan: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan “pembunuhan” dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Lebih lanjut ditegaskan pada Pasal 344 yang menyatakan “Barang siapa meng­hilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nya­ta dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua be­las tahun.”a

============================================================
============================================================
============================================================