AKHLAK adalah salah satu hal penting dan utama dalam membangun kejayaan. Di dalam akhlak itu terdapat tata krama, etika, dan keseÂlarasan (harmoni) nalar, naluri, rasa, dan indria.
Bang Sem Haesy
NALAR yang cerdas memandu naluri yang peka, sehingga sensitifitas rasa dapat dikelola dengan baik. Ujungnya adalah indria berjalan sesuai dengan fungsinya secara proporsional. Keseimbangan itu yang akan menÂjadi daya perekat antara kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional.
Beberapa waktu berselang, dalam rapat DeÂwan Kebudayaan Jawa Barat, Prof. GanÂjar Kurnia (Ketua), Abah Iwan Abdurrahman, Yesmil ahli hukum yang budayawan, Yus Ruslan Ahmad – planolog yang sanÂgat nyunda, saya dan beberapa teÂman lain mencoba menangkap esÂensi perubahan sosial dari hal-hal sederhana.
Antara lain melalui contoh perÂilaku, seperti menyikapi orang batuk, berdehem, membuang ludah dan dahak, sesuai dengan standar etika sosial, seperti yang dicontohlan orang tua kita. Termasuk bagaimana menyÂiapkan tempolong sebelum nyeureuh.
Masyarakat Singapura dan MalayÂsia mencapai tingkat disiplin prima dalam mewujudkan lingkungan seÂhat, dimulai dari hal semacam itu. Pun begitu pula negara-negara lain.
Para leluhur Sunda, seperti terÂsurat dan tersirat dalam Sanghyang Siksakanda Karesian, mengatur etika sosial semacam itu. Termasuk menÂgalirkan do’a.
Begini Sanghyang Siksakandang Karesian memberi artikulasi: “NemÂbalan nu batuk, nu ngadehem, nu ngareuhak, maka nguni embuing; kalih ngawih, ya lembu akalang ngaÂranya. Nyanda di (u)rut sanghyang kalih deuuk di tihang, di kayu, di batu, nyeueung inya anggeus diri disilihan nyanda, ngara(n)na lembu anggasin. Itu kehna ingetkeuneun laÂmun dek luput ti naraka.â€
Kalimat di atas bermakna : MenÂyahut orang batuk, mendehem, membuang dahak, menyahut ibu-ibu yang menyanyi, ibarat lembu masuk gelanggang. Begitu pula bersandar pada tiang bekas sandaran orang suci, duduk pada bekas duduk orang suci (di kayu dan batu) disebut lembu meÂnantang. (Untuk) itu semua perlu diinÂgat (tata krama) agar tak menimbulkan bencana atau petaka.
Lembu masuk gelanggang dan lembu menantang bermakna, jangan mengambil risiko melakukan sesuaÂtu, yang salah-salah akan menyebabÂkan diri celaka. Jangan menimbulkan situasi dan lingkungan sosial yang tak nyaman bagi orang banyak.
Begitu pula tatakrama dalam beÂlajar melalui beragam medium buÂdaya, dari menonton wayang sampai membaca, untuk menambah pengÂetahuan dan wawasan.
Sanghyang Siksakandang KareÂsian menuliskan : “Aya ta deui. LaÂmun urang nyeueung nu ngawayang, ngadenge-keun nu ma(n)tun, nemu siksaan tina carita, ya kangken guru panggung ngara(n)na. Lamun urang nemu siksaan rampes ti nu maca ya kangken guru tangtu ngara(n)na. Lamun mireungeuh beunang nu kuÂriak ma: ukir-ukiran, paparahatan, papadungan, tutulisan, sui nanya ka nu diguna, temu ku rasa sorangan ku beunangna ilik di guna sakalih ya kangken guru wreti ngara(n)na. Nemu agama ti anak, ya kangken guru rare ngara(n)na. Nemu darÂma ti aki ma ya kangken guru kaki ngara(n)na. Nemu darma ti lanceuk ma ya kangken guru kakang ngara(n)na. Nemu darma ti toa ma ya kangÂken guru ua ngara(n)na.â€
Ada lagi. Bila kita menonton wayang, mendengar juru pantun, ambillah pelajaran dari kisah yang disajikan. Itulah yang kita sebut guru panggung. Bila kita memperÂoleh pelajaran atau pengetahuan yang baik dari membaca, itulah yang disebut guru tangtu. Bila mendapat pengetahuan dengan menyaksikan karya profesional dan ahli, itulah guru wreti. Pengetahuan yang kita dapat dari anak, disebut guru rare. Pengetahuan dari kakek dan kakak yang disebut guru kaki dan guru kaÂkang. Pengetahuan dari orang-orang tua yang disebut guru ua.