Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) hingga pekan ketiga Februari 2016 telah mencapai Rp102,2 triliun atau 31,2 persen dari target dalam APBN.
Oleh : Winda Herviana
[email protected]
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi KementÂerian Keuangan, NE Fatimah, dalam keterangannya di JaÂkarta, Minggu (13/3/2016), menjelaskan bahwa realisasi tersebut lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada 2015 yang mencapai Rp104,4 triliun atau 37,7 persen dari targe
Dari realisasi sebesar Rp102,2 trilÂiun tersebut, diantaranya berasal dari penerbitan SBN (neto) di pasar domesÂtik sebanyak Rp66,2 triliun dan SBN (neto) valas sebesar Rp36 triliun.
Sebagian realisasi penerbitan SBN neto di pasar domestik juga diserap oleh investor asing yang terlihat dari peningkatan kepemilikan asing mulai Desember 2015 hingga Februari 2016 yang mencapai lebih dari Rp30 triliun.
Dana dari hasil penerbitan SBN ini dimanfaatkan untuk pembiayaan belanÂja produktif pemerintah, sehingga realÂisasi penyerapan belanja per Februari tercatat relatif lebih tinggi dari periode sebelumnya.
Realisasi belanja APBN hingga 5 Februari 2016, tercatat sebesar Rp164,9 triliun, atau meningkat 27,73 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Selain itu, pembiayaan tersebut juga dimanfaatkan untuk pembayaran utang jatuh tempo.
Pembayaran keÂwajiban utang jatuh tempo pemerinÂtah per minggu kedua Februari 2016 tercatat mencapai Rp33,6 triliun atau meningkat 90,8 persen dibandingkan periode yang sama pada 2015 sebesar Rp17,6 triliun.
Terkait pendanaan dari utang, pemerintah menerapkan strategi “front loading†penerbitan SBN dengan memÂpertimbangkan kondisi likuiditas di pasar keuangan domestik agar tidak menimbulkan dampak kekeringan liÂkuiditas.
Sebelumnya, pemerintah bahkan telah melakukan pra pembiayaan untuk APBN 2016 dengan menerbitkan SBN pada akhir 2015 sebesar Rp63,5 triliun, yang berasal dari penerbitan SUN VaÂlas 3,5 miliar USD atau Rp48,5 triliun dan private placement Rp15 triliun. Pemenuhan target penerbitan SBN seÂbagai bagian dari pembiayaan utang yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR, selalu dilakukan dengan mempertimÂbangkan berbagai hal termaÂsuk kondisi likuiditas pasar keuangan.
SBN juga digunakan untuk menduÂkung pengembangan pasar keuangan domestik, sehingga memberikan alterÂnatif investasi bagi investor domestik, dan memberikan acuan imbal hasil bagi sektor korporasi yang memerluÂkan pendanaan dari pasar keuangan. Sementara itu, kondisi likuiditas di berÂbagai pasar keuangan hingga pertengaÂhan Februari 2016 juga terjaga dengan baik, antara lain di pasar SBN, terjadi penurunan imbal hasil SBN tenor 10 tahun dari 9,16 persen pada akhir 2015 menjadi 7,97 persen.
Bid offer spread (bps) juga menuÂrun, dari sekitar 13,8 bps pada pertenÂgahan 2015 menjadi 7,9 bps. Di Pasar Uang Antar Bank, terjadi penurunan rate JIBOR overnight dari 7,59 persen pada akhir 2015 menjadi 5,16 persen.
Selain itu, di pasar saham, juga terjadi kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang positif dari 4593 yang tercatat pada akhir 2015 menjadi 4697 pada pertengahan FebruÂari 2016.
Kementerian Keuangan juga menÂcatat, pada minggu keempat DesemÂber 2015, sempat terjadi kenaikan suku bunga JIBOR ON yang tajam khususnya pada periode 29-30 Desember 2015 dari kisaran 5,7 persen-5,8 persen menjadi 7 persen-8,25 persen.
Kenaikan suku bunga JIBOR ON tersebut disebabkan oleh peningkatan aktivitas di pasar uang secara tempoÂrer yang terjadi seiring upaya antisipasi bank dalam rangka memenuhi kebutuÂhan likuiditas yang meningkat jelang perayaan Natal dan Tahun Baru.
Namun, memasuki minggu 1 Januari 2016, suku bunga JIBOR ON kembali tuÂrun pada kisaran 5,7 persen-5,8 persen yang mengindikasikan bahwa situasi cenderung ketat di pasar uang antar-bank bersifat sementara dalam waktu yang terbatas.
(net/ANTARA News)