PROSES pendidikan insani yang dimulai dari lingkungan keluarga, karena keluarga merupakan sumber kontributor bagi pemenuÂhan keperluan masyarakat, negara, dan bangsa terhadap sumberdaya insani berkualitas berlangsung tanpa henti.
Bang Sem Haesy
TAMSIL insani laksana jambangan yang perlu diisi air bening dan tamÂsil insani laksana emas yang menunÂjukkan kualitas insani, berkorelasi dengan tamsil-tamsil lain dalam konsep kepribadian Pakuan PajajaÂran sebagaimana terungkap dalam Sanghyang Siksakanda Karesian.
Terutama tamsil-tamsil tenÂtang bagaimana memelihara dan mengelola indria secara tepat, benar, dan sesuai tata krama serta aturan (pamali), seperti: bagaimaÂna menggunakan mata, hidung, telinga, mulut, tangan, kaki, bahÂkan kemaluan.
Bila kesemuanya dikelola dan diperguanakan secara tepat dan benar, serta ditempa dengan cara yang tepat dan benar juga, maka posisi manusia tidak lagi berhenti sebagai sumberdaya semata, meÂlainkan meningkat menjadi modal insan (human capital). Hal itu terÂcermin pada kejayaan yang dicapai di era Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa.
Akan halnya pengabaian terÂhadap seluruh tatanan dan kekeÂliruan dalam proses penempaanÂnya, akan terjadi kehancuran, atau setidaknya kemunduran, seÂbagaimana berlangsung di masa-masa berikutnya. Kalau kondisi semacam itu terjadi, susah untuk mengangkatnya kembali, seperti Prabu Suryakencana susah payah membangkitkan kembali kejayaan Pakuan Pajajaran. Susahnya, sepÂerti orang membangkitkan batang terendam di lumpur.
Kitu keh upama urang janÂma ini. Lamun nurut sanghyang siksa, kapahayu rasana di urang kadyangga ning bener tumemu benerna. Kitu, lamun hamo nurut sanghyang siksa kreta kadyangga ning wilut tumemu wilutna. KaÂlimat ini menegaskan: begitulah tamsil kita tentang manusia (dan segala upaya menempa kualitas dan keberadaannya. Bila menaati pedoman (sanghyang siksa), seÂjahteralah kita – termasuk dalam perasaan –, ibarat sesuatu yang lurus bertemu lurusnya. SebaÂliknya, bila tidak mengikuti pedoÂman, ibarat yang bengkok berteÂmu bengkoknya.
Agar manusia tidak terjebak pada kekeliruan dalam menempa dirinya, diperlukan cermin keÂhidupan. Cermin jernih yang bisa menjelaskan dan menegaskan siapa sungguh diri kita. Jangan sampai cermin itu menjadi buram, karena hanya pada cermin jernih kita dapat melihat diri kita – keleÂbihan dan kekurangannya (Paesan ma ngaranya eunteung. Kitu na eunteung, lamun hamo kawaas, samar kalangkang urang. Lamun kawaas ma puguh rua urang dina jero eunteung eta.)
Cermin jernih itu ilmu pengeÂtahuan dan dimensi kedalaman yang menyertainya, yaitu budaya, yang di dalamnya terdapat beÂragam nilai yang memandu kita bagaimana mesti mematut diri. Budaya dengan beragam nilai yang berada di dalamnya, merupakan cermin yang akan membuat kita menjadi sungguh paham untuk bersikap tahu diri.
Suatu sikap yang terlahir oleh kesadaran untuk berani melihat kekurangan diri sendiri dan meÂlihat kelebihan orang lain. Itulah introspeksi diri. Di dalamnya berÂlangsung proses interaksi (perÂsonal dan sosial), termasuk proses saling isi antara yang satu dengan lainnya, karena manusia yang satu dengan lainnya memang harus salÂing melengkapi.