Untitled-7PROSES pendidikan insani yang dimulai dari lingkungan keluarga, karena keluarga merupakan sumber kontributor bagi pemenu­han keperluan masyarakat, negara, dan bangsa terhadap sumberdaya insani berkualitas berlangsung tanpa henti.

Bang Sem Haesy

TAMSIL insani laksana jambangan yang perlu diisi air bening dan tam­sil insani laksana emas yang menun­jukkan kualitas insani, berkorelasi dengan tamsil-tamsil lain dalam konsep kepribadian Pakuan Pajaja­ran sebagaimana terungkap dalam Sanghyang Siksakanda Karesian.

Terutama tamsil-tamsil ten­tang bagaimana memelihara dan mengelola indria secara tepat, benar, dan sesuai tata krama serta aturan (pamali), seperti: bagaima­na menggunakan mata, hidung, telinga, mulut, tangan, kaki, bah­kan kemaluan.

Bila kesemuanya dikelola dan diperguanakan secara tepat dan benar, serta ditempa dengan cara yang tepat dan benar juga, maka posisi manusia tidak lagi berhenti sebagai sumberdaya semata, me­lainkan meningkat menjadi modal insan (human capital). Hal itu ter­cermin pada kejayaan yang dicapai di era Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa.

BACA JUGA :  Bima Arya Takziah ke Keluarga Korban Longsor, Pastikan Penanganan Berjalan

Akan halnya pengabaian ter­hadap seluruh tatanan dan keke­liruan dalam proses penempaan­nya, akan terjadi kehancuran, atau setidaknya kemunduran, se­bagaimana berlangsung di masa-masa berikutnya. Kalau kondisi semacam itu terjadi, susah untuk mengangkatnya kembali, seperti Prabu Suryakencana susah payah membangkitkan kembali kejayaan Pakuan Pajajaran. Susahnya, sep­erti orang membangkitkan batang terendam di lumpur.

Kitu keh upama urang jan­ma ini. Lamun nurut sanghyang siksa, kapahayu rasana di urang kadyangga ning bener tumemu benerna. Kitu, lamun hamo nurut sanghyang siksa kreta kadyangga ning wilut tumemu wilutna. Ka­limat ini menegaskan: begitulah tamsil kita tentang manusia (dan segala upaya menempa kualitas dan keberadaannya. Bila menaati pedoman (sanghyang siksa), se­jahteralah kita – termasuk dalam perasaan –, ibarat sesuatu yang lurus bertemu lurusnya. Seba­liknya, bila tidak mengikuti pedo­man, ibarat yang bengkok berte­mu bengkoknya.

Agar manusia tidak terjebak pada kekeliruan dalam menempa dirinya, diperlukan cermin ke­hidupan. Cermin jernih yang bisa menjelaskan dan menegaskan siapa sungguh diri kita. Jangan sampai cermin itu menjadi buram, karena hanya pada cermin jernih kita dapat melihat diri kita – kele­bihan dan kekurangannya (Paesan ma ngaranya eunteung. Kitu na eunteung, lamun hamo kawaas, samar kalangkang urang. Lamun kawaas ma puguh rua urang dina jero eunteung eta.)

BACA JUGA :  Kecelakaan 2 Remaja Boncengan Motor di Polman Sulbar Tewas usai Tabrakan dengan Truk

Cermin jernih itu ilmu penge­tahuan dan dimensi kedalaman yang menyertainya, yaitu budaya, yang di dalamnya terdapat be­ragam nilai yang memandu kita bagaimana mesti mematut diri. Budaya dengan beragam nilai yang berada di dalamnya, merupakan cermin yang akan membuat kita menjadi sungguh paham untuk bersikap tahu diri.

Suatu sikap yang terlahir oleh kesadaran untuk berani melihat kekurangan diri sendiri dan me­lihat kelebihan orang lain. Itulah introspeksi diri. Di dalamnya ber­langsung proses interaksi (per­sonal dan sosial), termasuk proses saling isi antara yang satu dengan lainnya, karena manusia yang satu dengan lainnya memang harus sal­ing melengkapi.

============================================================
============================================================
============================================================