JAKARTA, TODAY — PT Pertamina (Persero) mempertimbangkan ekspor solar mengingat saat ini produksi solar dalam negeri mengalÂami surplus sebesar 140 ribu barel per bulan. Sedangkan penyerapan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar dalam negeri semakin menuÂrun tahun ini.
Kendati wacana ekspor ada di depan mata, Direktur Pengolahan Pertamina, Rachmad Hardadi mengatakan sampai saat ini perusaÂhaan belum punya negara tujuan ekspor yang akan disasar. Hal itu akan ditentukan setelah Pertamina melihat kondisi harga BBM saat ini. “Tentu kami akan cari negara yang memiliki harga yang bagus,” jelas Rachmad di Jakarta, Rabu(20/4/2016).
Sejak awal tahun, katanya, konÂsumsi solar memang tidak banyak diserap oleh sektor riil, utamanya sekÂtor pertambangan yang kini tengah loyo akibat masih rendahnya harga komoditas. Akibatnya, Pertamina menÂgalami stok berlebih yang membuat perusahaan tidak mengimpor solar lagi selama dua bulan terakhir.
Hal itu juga terlihat dari data KeÂmenterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di mana penjualan solar Pertamina hingga kuartal I tahun ini tercatat sebesar 2,92 juta kl. Angka ini anjlok 11,24 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 3,29 juta kl. “Hari-hari terakhir ini kami sudah kelebihan solar selama dua bulan terakhir, sehingga impor soÂlar kami setop. Bukan karena produkÂsinya bertambah banyak, tapi serapan dari konsumsi turun, industri sedang lesu,” jelasnya.
Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan berlebihnya paÂsokan solar dalam negeri juga disebabÂkan oleh adanya mandatori biodiesel B-20, yang juga bisa mengurangi kebuÂtuhan solar sebesar 2,5 hingga 3 juta kl per tahun. Bahkan, hal itu membuat perusahaan akan menghentikan impor solar di tahun ini. “Kalau surplus, 2016 saya kira kami tidak akan impor BBM solar lagi. Apalagi sudah ada mandatori B-20 juga,” jelas Dwi di lokasi yang sama.
Meskipun ada rencana untuk menjual solar ke luar negeri, namun ia mengatakan itu adalah opsi teraÂkhir untuk memanfaatkan kelebihan produksi. Rencananya, surplus solar itu pertama kali akan diolah lagi menÂjadi produk yang lebih memiliki nilai jual tinggi. “Tapi pertama kelebihan produksi itu akan dikonversi dulu ke smooth flu id, dan itu untuk keperluan drilling karena harganya bisa lebih mahal. Namun kalau nanti masih ada kelebihan, akan kami ekspor,” ujarnya.
PHK Massal
Di sisi lain, berbagai cara dilakukan oleh perusahaan-perusahaan migas yang menjadi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), untuk tetap bertahan di tengah harga minyak yang rendah.
Efisiensi mau tak mau dilakukan, karena harga minyak terjun dari level USD 100 pada 2014 hingga di bawah USD 40/barel saat ini. Penerimaan perusahaan-perusahaan migas pun anjlok hingga 60%-70%. “Pasti harus efisiensi, kalau nggak nanti nggak bisa bertahan,” kata Kadiv Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan UsaÂha Hulu Migas (SKK Migas), Elan BianÂtoro, Rabu (20/4/2016).
Ada macam-macam langkah efisiensi yang dilakukan oleh para KKKS. “Misalnya Conoco Philips, tahun ini tidak ada kenaikan gaji, tidak ada bonus. Tapi mereka tidak melakukan pengurangan karyawan,” ujar Elan.
KKKS juga memangkas biaya-biaya untuk perjalanan dinas, rapat, dan kegiatan operasional lainnya. “Kalau dulu biasanya pergi-pergi rapat, sekaÂrang cukup teleconference saja untuk menggantikan pergi-pergi,” tukas dia.
Selain itu, KKKS juga mengurangi biÂaya investasi (capex) untuk pengembanÂgan lapangan. Proyek-proyek yang keekoÂnomiannya rendah ditunda (reschedule).
Elan menambahkan, kegiatan pengeboran berkurang drastis akibat penghematan yang dilakukan KKKS. BiÂasanya, setiap tahun ada 1.000 pengeÂboran. “Sekarang cuma 450, kurang dari separuhnya,” ungkapnya.
Bila semua langkah-langkah efisiensi itu sudah dilakukan namun keuangan perusahaan masih merah, mau tak mau dilakukan pengurangan jumlah karyawan, seperti yang dilakuÂkan PT Chevron Pacific Indonesia baru-baru ini. “Efisiensi itu tidak harus menÂgurangi tenaga kerja. Pengurangan karyawan itu langkah terakhir kalau langkah lain sudah tidak cukup,” tanÂdas Elan.
(Yuska Apitya/dtkf)