KONSEP porno yang belaku dalam masyarakat itu selalu diterjemahkan secara subjektif menurut konteks nilai yang berlaku dalam masyarakat dan dalam kurun waktu tertentu. Untuk itu perdebatan-perdebatan mengenai seks dan hal-hal disekitarnya, harus dimulai dari pandangan intra subyektif tentang makna sebenarnya dari porno yang diperdebatkan itu.
Oleh: Ahmad Agus Fitriawan
Guru MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor
Dalam kondisi seperti ini batasan mengenai pornografi menjadi suatu entitas yang dapat mengalami perubahan, sesuai dengan latar belakang sosial cultural yang ada.
Menurut istilah para ahli pornografi dapat didefinisiÂkan sebagai berikut. Pertama, Feminis dan Moralis Konservatif mendefinisikan pornografi seÂbagai “penggambaran material seksual yang mendorong peleceÂhan seksual dengan kekerasan dan pemaksaanâ€. Kedua, MenuÂrut Undang-Undang No.44 Tahun 2008, Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau perÂtunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploiÂtasi seksual yang melanggar norÂma kesusilaan dalam masyarakat.
Secara garis besar dalam wacana pornografi atau dalam tindak pencabulan kontempoÂrer dan beberapa bentuk porno, yaitu meliputi porno teks, porÂnografi, pornosuara, dan pornoÂaksi. Dalam kasus tertentu semua kategori ini dapat menjadi sajian dalam satu media, sehingga konÂsepnya menjadi pornomedia.
Pornoteks yaitu karya penÂcabulan yang mengangkat cerita berbagai fersi hubungan seksual dalam bentuk narasi, testimonial, atau pengalaman pribadi secara detail dan vulgar, sehingga pembaÂca merasa ia merasa menyaksikanÂnya sendiri, mengalami atau menÂgalaminya sendiri peristiwa atau hubungan seks itu. Penggambaran yang detail secara narasi terhadap hubungan seks itu kemudian meÂnimbulkan terciptanya teatre of mind pembaca, sehingga fantasi seksual pembaca menjadi menggeÂbu-gebu terhadap hubungan seks yang digambarkan tersebut.
Pornosuara yaitu tuturan atau kalimat-kalimat yang diucapkan seseorang yang langsung atau tidak langsung bahkan secara halus atau vulgar tentang aktifitas seksual atau obyek seksual. SeÂdangkan pornoaksi adalah pengÂgambaran aksi gerakan lenggoka atau liukan tubuh yang disengaja atau tidak disengaja untuk meÂmancing bangkitnya nafsu sekÂsual laki-laki.
Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat
Di antara dampak yang palÂing parah dari pornografi dan sejenisnya adalah tentang munÂculnya “desakralisasi seks†yang merusak tatanan kehidupan umat manusia. Karena pornoÂgrafi menggunakan media, yang mampu membentuk publik opini yang mendorong desakralisasi seks –sesuatu yang di kemudian hari akan memakan biaya sangat-sangat mahal. Desakralisasi seks merujuk pada penolakan atas gaÂgasan tentang seks sebagai sesuai yang suci dan hanya boleh dilakuÂkan dalam ikatan pernikahan.
Dengan sendirinya itu berarti seks dapat dilakukan secara beÂbas, baik antar jenis maupun lain jenis, di luar pernikahan. Dampak desakralisasi seks, salah satu yang utama adalah hancurnya lembaga pernikahan. Penjelasannya juga sederhana, tanpa ada keharusan setia hanya pada satu pasangan dalam lembaga pernikahan, alaÂsan untuk hidup bersama dengan pasangan hidup tunggal sepanÂjang usia menjadi melemah. DenÂgan kata lain, lembaga pernikaÂhan menjadi tak penting.
Tanpa sakralisasi seks, orang bisa hidup bersama dengan orang lain dalam waktu tertentu tanpa perlu menikah. Tanpa ikaÂtan pernikahan, tanggungjawab terhadap pasangan menjadi meÂlemah. Begitu salah satu pasanÂgan terpesona oleh pasangan lain, dengan mudah ia meninggalkan pasangannya semual tanpa ‘terbelenggu’ oleh ikatan apapun. Hal serupa dialami oleh mereka yang sudah ‘kepalang’ menikah. Karena hubungan di luar nikah menjadi seolah ‘tidak haram’, seorang suami dan istri tidak akan merasa begitu berdosa berhubunÂgan dengan orang lain. Namun masalahnya, betapa pun rasionalÂnya masyarakat, aktivitas berpinÂdah-pindah pasangan semacam ini lazim dianggap sebagai ‘pengÂhianatan’. Salah satu solusi utama dari kondisi di mana salah satu pasangan merasa suami atau istri ‘berkhianat†adalah perceraian.
Yang dihasilkan pada lemÂbaga pernikahan pada gilirannya, adalah kondisi dimana terdapat banyak anak yang tumbuh tidak dalam keluarga yang ‘lengkap’, umumnya tanpa ayah. Kita misÂalnya mengenal berkembangÂnya gejala single parenthooddi negara-negara Barat. Dan yang paling terkena oleh kondisi ini adalah anak-anak leluarga tak mampu. Masalahnya, orangtua tunggal –yang umumnya adalah ibu—dalam kondisi ini lazim terÂpaksa bekerja untuk menafkahi dirinya dan anaknya, karena tak memiliki topangan cukup dari keluarga. Bila sang ibu sudah melahirkan pada usia remaja, ia bahkan sudah harus berhenti sekolah saat itu juga, sehingga tak memiliki cukup kemampuan unÂtuk bertarung di pasar kerja.
Dampak lain desakralisasi seks adalah peningkatan peÂnyakit yang ditularkan melakui hubungan seks, terutama AIDS. Tanpa kesetiaan pada satu pasanÂgan dalam lembaga pernikahan, orang dengan mudah berganti-ganti pasangan hubungan seks. Kalau dampak ini belum cukup, masih banyak sejumlah hal lain dikemukakan, diteorikan, dipenÂgaruhi oleh desakralisasi seks; kehamilan remaja, pengguguran kandungan (dengan beragam akibatnya), perkosaan, serta peÂlacuran. Dalam hal perkosaan misalnya, desakralisasi seks meÂnyebabkan penurunan sensitiviÂtas masyarakat terhadap korban perkosaan. Karena seks bukan sesuatu yang suci, demikian logiÂkanya, maka tindakan untuk meÂmaksanakan hubungan seks buÂkanlah sesuatu yang sangat perlu dikutuk.
Jika hal ini semua dibiarkan secara terus menerus tanpa adÂanya tindakan untuk memperbaiÂki atau memerangi maka tak haya lagi lama-kelamaan umat akan hancur dan tenggelam dalam kemunkaran sehingga tak ada bedanya antara manusia dengan binatang.
Terhadap Psikologis dan Kesehatan Mental
Pornografi mempunyai emÂpat pengaruh psikologis bagi mereka yang melihatnya. KeemÂpat efek tersebut menuju pada perilaku seks yang tidak sehat dan menyimpang kepada mereka yang menikmatinya. Adapun efek tersebut diantaranya adalah keÂcanduan (addiction), peningkaÂtan kebutuhan (escalation), maÂteri yang semula tampak immoral perlahan-lahan menjad hal yang biasa (desensitivization), dan perilaku seks promiskuitas sepÂerti memaksa dan memperkosa serta sodomi (act out sexually).
Sementara itu efek kecanÂduan, seseorang sekali melihat gambar atau dilm porno akan ingin melihat lagi. Efek kedua, esÂkalasinya akan meningkat, yang mulanya hanya membaca lalu meÂlihat gambar yang bergerak sepÂerti VCD porno. Bila orang terus menerus mengkonsumsi film-film porno, menurut, maka dia yang mulanya melihat perilaku seks beÂbas sebagai hal yang tabu, maka lama-kelamaan perilaku itu akan menjadi sesuatu yang biasa saja.
Puncak dari perilaku orang yang sering mengkonsumsi film-film porno adalah perilaku seks meÂnyimpang, seperti pelecehan sekÂsual, pemerkosaan, zina atau free sexs, homoseksual, sodomi, dll.
Sementara itu, efek dari pronografi secara keseluruhan akan menjadikan masyarakat Indonesia tergolong masyarakat aktif seksual. Namun, keaktifan tersebut celakanya di luar niÂkah, seperti di beberapa negara Barat. Seks yang merupakan menu dari pornografi itu sendiri memiliki ekses yang sangat kuat dalam merusak kesehatan menÂtal masyarakat. Karena seks itu pada dasarnya kekuatan, jika tidak memiliki kontrol bisa menÂdorong dan memperngaruhi seÂseorang untuk berbuat apa saja demi tujuan nafsunya. Dan hal ini jika terjadi pada siapa saja baik generasi muda maupun tua.jika diperinci satu persatu, maka baÂhaya pornografi bagi kesehatan mental adalah;
Pertama, memberikan fatamÂorgana negatif dalam daya khayal remaja yang berakibat mereka tersiksa dari sudut mental. FatÂamorgana tersebut akhirnya meÂmicu pada: (a) memicu tindakan seksual yaitu masturbasi atau onani, (b) mendorong pemuasan pada sosok yang tidak berdaya (pemerkosaan) pada lawan jenis. Hal ini terbukti gencarnya sajian pornografi dalam berbagai media, dimana-mana bermunculan kasus pemerkosaan anak kecil dan lebih sadis lagi munculnya sodomi, dan (c) mendorong hubungan seks exÂstramarital atau pemuasan hubunÂgan seksual dengan anggota keluÂarga sendiri baik kakak terhadap adik, atau sebaliknya, hal ini bisa terjadi karena seks merupakan sebuah kekuatan jika dorongan telah memuncak akan bisa khilaf hingga tidak mampu mengidentiÂfikasi siapa yang digauli.
Kedua, mengganggu proses berfikir kreatif. Bagi remaja dalam masa sekolah harusnya berfikir tentang studinya dan berusaha untuk meraih prestasi yang seÂbaik-baiknya, tetapi apabila telah terobsesi dengan pornografi akan sulit mengkonsentrasikan pikiÂrannya mengingat kemampuan daya ingatnya telah tercemari nafsu seksual dan khayalan cabul.
Ketiga, mendorong rasa ingin tahu lebih jauh pada hal-hal yang bersifat porno. Salah satu damÂpak langsung yang ditimbulkan dari sajian pronografi itu adalah secara psikologis akan menimÂbulkan perasaan yang sangat bergejolak dan jika terjadi secara terus menerus akan memiliki keingain atau menarasan untuk melihat lebih hebat dari yang beÂlum pernah dilihat sebelumnya. Terutama bagi mereka yang tidak dilandasi oleh pendidikan agama, akan lebih jauh lagi melangkah pada pemuasan lawan jenis.
Keempat, dapat menimbulkan sifat permisif. Dengan tayangan dan sajian pronografi biasanya ebih agresif menarik lawan jenÂisnya (gonta-ganti pacar) untuk memuaskan nafsu. Dan sebagai akibatnya mereka telah terbiasa untuk melakukan tindakan yang kelewat batas tanpa merasa berÂdosa dan jika berlanjut terlalu sering mereka justru merasa bangÂga dan merasa bagian dari budaya modern. Dan sifat itulah yang keÂmudian disebut dengan sifat perÂmisif yaitu sifat serba boleh atau menghalalkan segala cara. (*)