TENAGA nuklir dianggap merupakan salah satu solusi untuk memnuhi kebutuhan energi nasional serta memiliki nilai ekonomi dan ramah lingkungan. PT PLN (Persero) bekerja sama dengan perusahaan nuklir Rusia, Rusatom Overseas, JSC untuk bertukar informasi mengenai pengembangan nuklir.
Oleh : Rishad Noviansyah
[email protected]
Direktur Bisnis Wilayah Timur Jawa dan Bali PT PLN (Persero) Amin Subekti menÂgungkapkan, atas dasar ekonomi dan keÂbutuhan energi Indonesia, pengembanÂgan nuklir patut dipertimbangkan. Rusia dipilih untuk menimba ilu lantaran dikenal sukses dalam mengembangkan energi nuklir.
“Atas komitmennya pada keamanan dan kepeÂmimpinan teknologi, Rosatom akan menjadi salah satu mitra yang tepat untuk bekerjasama,†kata Amin Subekti dalam keterangan persnya di JakarÂta, Minggu (24/4/2016).
Pihaknya pun mengapresiasi atas segala inforÂmasi yang diberikan Rosatom Overseas, JSC yang masih merupakan anak perusahaan Badan usaÂha Milik Negara (BUMN) Rosatom, Rusia.
 “Tim PLN sangat senang untuk belajar tentang pengalaman Rosatom yang begitu luas dalam industri tenaga nukÂlir,†kata dia.
Presiden Rusatom Overseas JSC, Evgeny Pakermanov mengatakan, pengembangan nuklir cocok dengan agenda Indonesia terkait pemenuhan energi. Dia mengatakan, perusahaanÂnya siap mendukung pengembangan energi nuklir.
“Kami percaya bahwa tenaga nukÂlir benar-benar cocok dengan agenda ekonomi Indonesia saat ini, dan kami siap untuk mendukung semua upaÂya Indonesia dalam bidang energi atom, †ujar dia.
Sebagai informasi, Rusatom JSC dan PLN menggelar workshop tenÂtang teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Pada 19 April 2016 lalu.
Workshop itu membahas topik perkembangan industri energi nukÂlir. Berbagai anak perusahaan RoÂsatom memberikan informasi dan pengetahuan pada peserta Indonesia mengenai pengalaman Rusia dalam mengembangkan nuklir.
Belum Prioritas
Namun begitu, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir enggan berspekulasi kapan IndoneÂsia memiliki PLTN. Pemerintah kini masih sibuk mengembangkan Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) yang bukan bertujuan komersil.
Mohamad Nasir mengungkapkan, pembangunan PLTN belum menjadi prioritas, meski sudah ada survei yang dihasilkan PT Batan Teknologi (Persero), menyebut bahwa 75,3 persen penduduk Indonesia setuju adanya PLTN Uranium di Tanah Air.
“Itu riset yang menunjukkan PLTN bisa dibangun di Indonesia. Tapi masalahnya sekarang, apakah Indonesia bisa men-declare karena di Peraturan Presiden (Perpres) belum ada,†jelas Nasir kepada Liputan6. com beberapa waktu lalu.
Dia melanjutkan, pemerintah meÂlalui Kementerian Ristekdikti memÂbangun reaktor nuklir mini di SerÂpong, selain Bandung dan Yogyakarta. Tujuannya sebagai pusat pengembanÂgan tenaga nuklir atau disebut RekayaÂsa Daya Eksperimen (RDE).
Di Serpong khususnya, dibangun reaktor berkapasitas 10-15 Megawatt (Mw) untuk menjangkau seluruh pusat riset di kawasan tersebut.
“Basisnya ada riset, bukan untuk komersial tapi penelitian. Nanti kita buka sebagai tujuan wisata supaya masyarakat bisa melihat reaktor nukÂlir. Karena tipe masyarakat kita lihat dulu baru percaya. Kita belum berani ke publik secara komersial karena publik masih rentan menerima denÂgan yang namanya nuklir,†terang Nasir.
Sebagai gambaran, Nasir bilang, Indonesia punya potensi membanÂgun PLTN sebagai sumber energi alternatif alias energi terbarukan. Alasannya, dari wilayah Jawa sampai Kalimantan sudah ratusan tahun terÂbebas dari gempa. “Dari Jawa bagian Utara, Sumatera bagian Timur dan Kalimantan bagian Selatan, selama 200 tahun tidak pernah ada gempa. Jadi masih aman buat bangun nuklir,†katanya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimi sebelumnya mengatakan, ada dua daerah di InÂdonesia yang sangat memungkinkan untuk dibangun pembangkit nuklir, yakni Bangka Belitung (Babel) dan KaÂlimantan.
Pasalnya dua lokasi tersebut merupakan daerah paling aman dari gempa. Tapi belum lama ini, terjadi gempa di Babel dan Kalimantan. “Jadi sudah tidak ada area di Indonesia yang sekarang bebas dari gempa. PaÂdahal gempa adalah ancaman besar dari pembangkit nuklir, seperti retak atau pecah,†ujarnya.
Meski demikian, Rinaldy menÂgatakan, PLTN dapat menyebabkan kecelakaan. Kecelakaan itu bisa berasÂal dari bencana alam atau gempa, kesÂalahan desain dan kesalahan operasi, bukan teknologi. Kecelakaan tersebut bisa terjadi di Indonesia.
“Bencana alam, kesalahan desain karena kita tidak punya teknologi seÂhingga kalaupun mau bangun PLTN harus 100 persen dibangun negara lain. Kita juga tidak menguasai deÂsain, sehingga kita benar-benar tidak punya kemampuan untuk bangun PLTN,†tegasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, reÂalisasi PLTN hanya akan menggerus uang negara mengingat Indonesia harÂus mengimpor uranium dengan harga sangat mahal. Bahkan Australia, tamÂbah Rinaldy, negara pengimpor uraniÂum terbesar dan mempunyai deposit uranium banyak saja menyatakan tiÂdak akan membangun PLTN.
“Belum lagi investasi bangun PLTN 4-5 kali dari PLTU. Kalau PLTU per Kilowatt (Kw) US$ 1.500, maka PLTN bisa mencapai US$ 6.000-US$ 8.000 per Kw. Sedangkan harga jualÂnya sudah lebih dari harga PLN, misÂalnya di Babel US$ 12 sen per Kw, jadi perlu ada tambahan subsidi. Ini yang tidak dimengerti kepala daerahnya, sehingga tetap mau bangun PLTN,†jelasnya.
Rinaldy mengaku, PLTN meruÂpakan pilihan sumber energi terakhir tanpa harus ngotot mewujudkannya. Namun Batan Teknologi tetap diminta untuk mengembangkan dan menguaÂsai teknologi nuklir, seperti teknologi fusi (matahari) atau thorium karena tidak menimbulkan radiasi.
“Dari dulu, Pak Boediono sudah bilang PLTN belum akan dibangun, tapi Indonesia akan mengembangkan teknologi nuklir untuk non energi, seperti persenjataan, dan lainnya,†cetus Rinaldy. (*)