Untitled-18PERPOLITIKAN negeri ini tak pernah sepi dari gaduh. Bahkan, ketika mengurusi desa. Sejak beberapa hari berselang, tampak kuat tarik menarik kepentingan, ketika politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membela menteri(-nya): Marwan Ja’afar – Menteri Desa, Pembangu­nan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Menteri Tertinggal).

Bang Sem Haesy

MENTERI tertinggal banyak disoal, ihwal dana desa. Aliansi Pendamping Program Desa yang sudah ada selama ini, merasa dia­baikan, ketika Menteri Tertinggal harus mer­ekrut baru pendamp­ing dana desa, yang ditengarai sangat politis. Karena para pendamp­ing dana desa bisa diman­faatkan seb­agai ekstensi politik oleh PKB meng­hadapi Pemilu 2019. Media pun menyambut situasi itu dengan menghadirkan informasi yang sesuai standar cek dan ricek, tapi membiarkan benih friksi. Terutama karena para pelontar isu – politisi PKB justeru mengumbar kegusarannya den­gan berbagai pernyataan yang tak perlu. Politisi ini rajin sebagai nara sumber media (televisi, digital, ra­dio, cetak) tapi miskin akal budi. Mereka berfikir polaris, senang menghadap-hadapkan politisi dan menggiringnya ke jurang friksi dan membiarkan konflik terjadi. Hidup mereka seolah senyap, bila ma­syarakat terbebas dari konflik.

BACA JUGA :  Timnas Indonesia Akui Keunggulan Qatar di Piala Asia U-23 2024

Mereka itu bermain-main dengan isu sensitif di tengah ke­bebasan pers nyaris tak bermarka : abong biwir teu diwengku, abong letah teu tulangan. Akibatnya, ngomong henteu dipikir heula, tungtungna matak pikanyerieun batur. Mentang-mentang bibir tak terkunci dan lidah tak bertulang, bicara tanpa pikir, ujung-ujung­nya melukai orang. Karena lidah berubah menjadi sembilu.

Dalam Sanghyang Siksakanda Karesian, hal ini menjadi perhatian utama dalam keseluruhan standar perilaku masyarakat Pakuan Paja­jaran. Dalam keseluhan konteks politik, bila para pemimpin politik (politisi) berpegang pada etika poli­tik, political code of conduct, tentu ceritanya akan lain. Terutama, kare­na tidak semua orang mempunyai political standing yang kuat terha­dap dinamika politik. Sebagian be­sar orang malah menempatkan diri sebagai sub ordinasi keberpihakan politik bebal sehingga terfirqah-firqah, terkotak-kotak.

Dalam konteks demikian, maka siapapun pemimpin (khas­nya pemimpin partai politik), ha­rus maui mengubah cara pandang komunikasi. Khasnya dari bad news is a good news menjadi good news is a good news. Dalam kon­teks itu, dalam setiap pernyataan komunikasi atau penyampaian pesan komunikasi, harus dipikir baik-baik manfaat dan mudharat­nya. Khasnya dalam melihat sub­stansi persoalan secara sesembén pamemedén, santai dalam kewa­jaran.

BACA JUGA :  Wali Kota Bogor Tak Putus Asa Benahi Pasar Kebon Kembang

Para politisi haruslah capétang maca kalangkang, cakap membaca isyarat dan cepat menyeleksi dam­pak yang timbul dari informasi yang disampaikannya, baik formal mau­pun non formal. Termasuk apapun niat (motivasi politik) di balik kursi kekuasaan yang disandang. Apa­lagi, dana desa yang sangat rawan dan jadi sorotan.

Nah, di Bogor, kiota tak ber­harap muncul friksi dan konflik demikian. Kita berharap, masing-masing politisi : Sorangan malik­keun diri, geus cacap nanya ka saha, tadi gé ngawarah manéh, mirasa nu teu karasa, rasa tara sarasa, rasa batur rasa batur. Membalikkan kesadaran sendiri, (karena) sudah waktunya bertanya pada siapa, mendidik diri sendiri, merasakan yang tidak terasa. Rasa yang tidak seperasaan. Belajar dari masa lalu Pakuan Pajajaran, tugas utama pemimpin (khasnya politisi) adalah mendidik rakyat.

============================================================
============================================================
============================================================