PERPOLITIKAN negeri ini tak pernah sepi dari gaduh. Bahkan, ketika mengurusi desa. Sejak beberapa hari berselang, tampak kuat tarik menarik kepentingan, ketika politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membela menteri(-nya): Marwan Ja’afar – Menteri Desa, PembanguÂnan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Menteri Tertinggal).
Bang Sem Haesy
MENTERI tertinggal banyak disoal, ihwal dana desa. Aliansi Pendamping Program Desa yang sudah ada selama ini, merasa diaÂbaikan, ketika Menteri Tertinggal harus merÂekrut baru pendampÂing dana desa, yang ditengarai sangat politis. Karena para pendampÂing dana desa bisa dimanÂfaatkan sebÂagai ekstensi politik oleh PKB mengÂhadapi Pemilu 2019. Media pun menyambut situasi itu dengan menghadirkan informasi yang sesuai standar cek dan ricek, tapi membiarkan benih friksi. Terutama karena para pelontar isu – politisi PKB justeru mengumbar kegusarannya denÂgan berbagai pernyataan yang tak perlu. Politisi ini rajin sebagai nara sumber media (televisi, digital, raÂdio, cetak) tapi miskin akal budi. Mereka berfikir polaris, senang menghadap-hadapkan politisi dan menggiringnya ke jurang friksi dan membiarkan konflik terjadi. Hidup mereka seolah senyap, bila maÂsyarakat terbebas dari konflik.
Mereka itu bermain-main dengan isu sensitif di tengah keÂbebasan pers nyaris tak bermarka : abong biwir teu diwengku, abong letah teu tulangan. Akibatnya, ngomong henteu dipikir heula, tungtungna matak pikanyerieun batur. Mentang-mentang bibir tak terkunci dan lidah tak bertulang, bicara tanpa pikir, ujung-ujungÂnya melukai orang. Karena lidah berubah menjadi sembilu.
Dalam Sanghyang Siksakanda Karesian, hal ini menjadi perhatian utama dalam keseluruhan standar perilaku masyarakat Pakuan PajaÂjaran. Dalam keseluhan konteks politik, bila para pemimpin politik (politisi) berpegang pada etika poliÂtik, political code of conduct, tentu ceritanya akan lain. Terutama, kareÂna tidak semua orang mempunyai political standing yang kuat terhaÂdap dinamika politik. Sebagian beÂsar orang malah menempatkan diri sebagai sub ordinasi keberpihakan politik bebal sehingga terfirqah-firqah, terkotak-kotak.
Dalam konteks demikian, maka siapapun pemimpin (khasÂnya pemimpin partai politik), haÂrus maui mengubah cara pandang komunikasi. Khasnya dari bad news is a good news menjadi good news is a good news. Dalam konÂteks itu, dalam setiap pernyataan komunikasi atau penyampaian pesan komunikasi, harus dipikir baik-baik manfaat dan mudharatÂnya. Khasnya dalam melihat subÂstansi persoalan secara sesembén pamemedén, santai dalam kewaÂjaran.
Para politisi haruslah capétang maca kalangkang, cakap membaca isyarat dan cepat menyeleksi damÂpak yang timbul dari informasi yang disampaikannya, baik formal mauÂpun non formal. Termasuk apapun niat (motivasi politik) di balik kursi kekuasaan yang disandang. ApaÂlagi, dana desa yang sangat rawan dan jadi sorotan.
Nah, di Bogor, kiota tak berÂharap muncul friksi dan konflik demikian. Kita berharap, masing-masing politisi : Sorangan malikÂkeun diri, geus cacap nanya ka saha, tadi gé ngawarah manéh, mirasa nu teu karasa, rasa tara sarasa, rasa batur rasa batur. Membalikkan kesadaran sendiri, (karena) sudah waktunya bertanya pada siapa, mendidik diri sendiri, merasakan yang tidak terasa. Rasa yang tidak seperasaan. Belajar dari masa lalu Pakuan Pajajaran, tugas utama pemimpin (khasnya politisi) adalah mendidik rakyat.