JEJAK keterlibatan etnis Tionghoa dalam sejarah Jakarta sudah ada sejak lama. Bagaimana ceritanya?

Oleh: Padmono
mantan wartawan

Nama Toh A Bo kurang dikenal dalam seja­rah Indonesia, juga dalam sejarah kota Jakarta. Yang dike­nal dalam sejarah Jakarta adalah nama Fatahillah yang sekarang dijadikan nama museum di kota tua. Fatahillah yang oleh lidah Portugal dibunyikan menjadi Faletehan adalah seorang pan­glima perang yang menaklukkan Sunda Kelapa, kota pelabuhan dari kerajaan Pajajaran dan seka­ligus mengusir tentara Portugis dari kota pelabuhan itu.

Oleh Fatahillah – sebaiknya kita gunakan nama ini dan bu­kan Faletehan – kota pelabuhan Sunda Kelapa diubah namanya menjadi Jayakarta yang artinya Jaya (menang atau kemenangan) dan krta (usaha atau kerja atau perjuangan). Nama Jayakarta me­mang berasal dari bahasa sank­sekerta. Penamaan itu kelihatan aneh kalau Fatahillah dikatakan berasal dari Pasai.

Namun Prof. Slamet Muljana dalam bukunya, “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Mun­culnya Kerajaan Islam di Nusan­tara” (Brhatara 1968, B. VII h.214) mengutip sumber-sumber yang beranggapan bahwa Fatahillah walaupun berasal dari Pasai teta­pi tinggal di Demak dan mem­peristeri adik Sultan Trenggana, Raja Demak. Dalam merebut kota pelabuhan itupun ia bertindak atas nama kesultanan Demak. Keterangan yang dikutip Prof. Muljana antara lain buku Prof. Sukanto dan Prof. Husein Dja­jadiningrat.

Prof. Sukanto seperti ditutur­kan Prof. Muljana menggunakan sumber tulisan Portugis yang mengatakan bahwa Fatahillah meninggalkan kota kelahiran­nya di Pasai karena kota itu su­dah jatuh ke tangan Portugis. Ia adalah seorang ulama dan masih keturunan nabi SAW, pergi ke Demak, menjadi guru Sultan De­mak Trenggana dan kawin den­gan adik sultan. Dikatakan pula, Faletehan menetapkan peruba­han nama itu tanggal 22 Juni 1627, beberapa bulan setelah mem­peroleh kemenangan dari pasu­kan Portugis bulan Maret 1627.

Sejarahwan Prof. Husein Djajadiningrat sependapat den­gan Prof Sukanto mengenai ja­tidiri Fatahillah. Namun datum penamaan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta itu ia tak sepakat. Prof. Husein dengan berbagai alasan ilmiah menyebut penamaan Jay­akarta itu tanggal 17 Desember 1626. Perbedaan datum di kalan­gan sejarahwan masih terus ber­lanjut, namun Walikota Jakarta Sudiro di tahun 1956 telah mene­tapkan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni sebagaimana dinyatakan Prof. Sukanto. Hingga hari ini kelahiran kota Jakarta mengikuti ketetapan tersebut.

Kendati masih ada perde­batan soal datum, namun para sejarahwan sepakat bahwa Fa­tahillah adalah orang yang ber­hasil menguasai kota pelabuhan Sunda Kelapa dan mengubah namanya menjadi Jayakarta. Mula-mula ia mengalahkan pa­sukan kerajaan Pejajaran yang telah membuat perjanjian den­gan Portugis, dan kemudian menduduki kota pelabuhan itu. Ketika tentara Portugis datang, Fatahillah berhasil mengu­sirnya. Dengan demikian dua kemenangan diperolehnya ber­turut-turut. Itu adalah fakta se­jarah yang tidak dibantah oleh sejarahwan.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Namun ada sesuatu yang menarik yang dinyatakan Prof. Husein yang menyangkut Fata­hillah. Pernyataan itu berbunyi: “Dapat pula kita bayangkan bah­wa Faletehan seorang ulama dan turunan Nabi SAW waktu ia mere­nungkan kemenangan yang san­gat penting itu merebut Sunda Kelapa dari kekuasaan raja sunda maka ia ingat akan kemenangan Nabi SAW yang terpenting yaitu merebut Mekah dari kekuasaan kaum Quraisj dan ia ingat akan Firman Allah SWT kepada Ra­sulNya SAW tersebut dalam ayat pertama dari Surat al-Fath: “Inna fatahna Inka fathan mubinan” (sesungguhnya Kami telah mem­beri kemenangan kepadamu kemenangan yang tegas) dan ke­mudian mendapat ilham untuk menamai dirinya Fathan (yang oleh karena salah dengar dan salah tulis dijadikan Faletehan oleh orang Portugis) dan meng­ganti nama Sunda Kelapa dengan Jayakarta yaitu fathan mubinan (vet pen; h.217-218).

Kalau dalam kutipan itu di­katakan “kemudian mendapat ilham untuk menamai dirinya Fathan”, siapakah nama asli Fa­tahillah dari mana asal usulnya? Apakah cukup dikatakan bahwa ia berasal dari Pasai? Sebab nama Fatahillah yang dipakai setelah ia memenangkan kota pelabuhan Sunda Kelapa, memiliki makna yang sangat penting dalam pers­pektif penghayatan agama. Nama Fatahillah adalah sebuah pen­gakuan bahwa kemenangan yang diperoleh adalah atas bantuan Allah.

Untuk menelusuri jatidiri Fatahillah itu, Prof. Slamet Mul­jana menggunakan sumber dari klenteng Semarang dan klenteng Talang (Cirebon). Berdasarkan sumber-sumber tesebut ia men­gungkapkan bahwa pasukan Demak yang dikirim oleh Sultan Demak, ke barat untuk merebut dan menyiarkan agama Islam ke Sembung (Cirebon) dan Sunda Kelapa, dipimpin oleh seorang panglima perang!

Panglima perang Demak itu tentunya seorang prajurit yang tangguh, ahli dalam taktik dan strategi peperangan. Nama pan­glima perang Demak itu memang tidak disebutkan. Namun Kronik Tionghoa dari klenteng Talang bertarikh 1552 menarik perha­tian Prof. Muljana. Kronik itu menyatakan: “Panglima tentara Demak setelah seperempat abad datang lagi di Sembung. Sendiri tanpa tentara. Haji Tan Eng Hoat sangat heran. Panglima tentara Demak katanya sudah bekas raja Islam di Banten. Dia sangat ke­cewa mendengar pembunuhan di kalangan keturunan Jin Bun di Demak. Dia tidak pula mau tunduk kepada Sultan Pajang karena di kesultanan Pajang aga­ma Islam mazhab Syiah sangat berpengaruh. Bekas panglima Demak katanya seterusnya seu­mur hidup hendak bertapa di Sarindil” (h.80-81 dan 217).

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Sumber itu menunjukkan bah­wa sesuatu yang mengecewakan hati panglima perang Demak itu dengan perkembangan politik dan agama, sehingga ia memu­tuskan untuk bertapa di Sarindil. Agama Islam yang dikembangkan di Demak adalah mazhab Hanafi sementara yang dikembangkan di Pajang adalah mazhab Syiah. Begitupun keturunan Tionghoa yang mengembangkan Islam di Demak dan Jawa pada um­umnya adalah orang-orang dari Yunan, sedangkan keturunan Tiongowa di daerah Cirebon se­bagian besar berasal dari Hokian dan tidak menganut Islam.

Berdasarkan sumber terse­but, Prof. Muljana menarik kes­impulan bahwa panglima perang Demak itu adalah anak kandung Sultan Trenggana yang bernama Toh A Bo atau disebut sebagai Pangeran Timur, yang memang sejak kecil dididik dalam kepra­juritan. Dialah panglima perang Demak yang dikirim ke barat dan berhasil merebut Sunda Ke­lapa. Atas kemenangannya itulah ia kemudian dinobatkan sebagai Sultan Banten dan menabalkan dirinya dengan nama resmi (ab­hiseka) Fatahillah (h.221). Peng­gunaan nama itu mengingatkan penamaan diri Sultan Fatah atau Raden Patah di Demak yang se­belumnya bernama Panembahan Jin Bun, setelah berhasil men­galahkan Majapahit. Dengan demikian yang dikenal dengan nama Fatahillah itu adalah Toh A Bo, putra Sultan Trenggana (Tung Ga Lo) dan cucu Sultan Fa­tah ( Jin Bun).

Kalau identifikasi itu dis­epakati maka menjadi semakin dapat dimengerti bahwa banyak Tionghoa keturunan berperan dalam sejarah di Indonesia, khu­susnya di Jakarta dan Jawa pada umumnya. Hubungan antara kerajaan-kerajaan di Jawa den­gan China memang sudah terja­lin sejak abad pertama. Di jaman Majapahit tidak sedikit dari mer­eka yang menjadi kepala daerah dan menabalkan dirinya dengan nama Sanksekerta, seperti bu­pati Tuban yang bernama Gan Eng Tju menjadi Tumenggung Wilwatikta Arya Teja, atau bupati Semarang yang bernama Kin San menjadi Adipati Terung. Karena itu nama Basuki Tjahaja Purnama yang dipanggil A Hok tak perlu dipersoalkan.

Biarkan saja dia menjadi Gu­bernur DKI Jakarta, mengikuti jejak kemenangan Toh A Bo.-

sumber: satuharapan.com

============================================================
============================================================
============================================================