PROFESI Advokat telah diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 20013 Tentang Advokat (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4255). Pasal 1 ayat (1) UU tersebut menegaskan, bahwa Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini.
BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Sekalipun tidak ada keÂharusan bagi seorang untuk minta bantuan Advokat ketika menghÂadapi perkara hukum, namun untuk hal – hal tertentu sebaiknya perlu minta bantuÂan kepadanya. Hal ini didasari atas alasan berikut ini. Pertama, ketika seorang menjumpai perÂsoalan hukum yang cukup rumit, sedangkan ia sendiri tidak banÂyak mengetahui seluk beluk huÂkum secara detail. Kedua, ketika tidak punya banyak waktu untuk menangani perkara hukum. KeÂtiga, punya anggaran memadai untuk membayar jasa Advokat. Dan, keempat, ketika seorang wajib didampingi Advokat, kareÂna terkena kasus pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebi
Adapun besarnya uang jasa/ honorarium Advokat didasarÂkan atas pesetujuan, tidak ada ketentuan tarif yang baku. PasÂal 21 ayat (2) UU Advokat telah merumuskan bahwa, besarnya honorarium atas jasa hukum ditetapkan secara wajar berÂdasarkan persetujuan kedua beÂlah pihak. Honorarium tersebut bisa meliputi, consultation fee (biaya konsultasi dan mempelaÂjari berkas perkara), lawyer fee (imbalan jasa profesional dalam penanganan perkara), operaÂtional fee (imbalan jasa profeÂsional untuk menjalankan kuasa hukum klien, bisa meliputi uang transport dan akomodasi), sucÂcess fee (imbalan jasa ketika Advokat mampu memenangkan perkara), dan retainer fee (pemÂbayaran uang muka kepada AdÂvokat sebagai bentuk keseriusan klien dalam memberikan kuasa hukum kepada Advokat).
Lantas bagaimana dengan para pencari keadilan yang tiÂdak mampu ? Pada prinsipnya keadilan menjadi milik semua orang, sehingga harus diwujudÂnyatakan dalam praktik penÂegakan hukum, tidak boleh ditunda-tunda atau bahkan diÂtiadakan. Dalam sudut pandang filsafat hukum ada pendapat, keadilan yang tertunda adalah keadilan yang terabaikan. Hal tersebut tentunya tidak boleh terjadi di republik ini. Oleh kareÂna itu bagi para pencari keadiÂlan yang tidak mampu bisa mendapatkan jasa bantuan hukum Advokat secara cuma-cuma. Dalam tataran normatif, Advokat sebagai officium nobile atau profesi yang mulia dan terÂhormat, dituntut untuk dapat memberikan bantuannya kepada semua pencari keadilan tanpa membedakan. Sesuai ketenÂtuan yang terdapat dalam Pasal 22 UU di atas, Advokat wajib memberikan bantuan hukum seÂcara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Hal ini dipertegas lagi dengan Pasal 56 KUHAP (Kitab Undang – UnÂdang Hukum Acara Pidana) yang pada prinsipnya mengatur, bagi tersangka/terdakwa yang tidak mampu yang diancam pidana 5 tahun atau lebih dan tidak memÂpunyai penasehat hukum sendiri pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Setiap penasehat hukum yang ditunjuk memberikan banÂtuannya secara cuma – cuma.
Selain kedua ketentuan di atas, Pasal 14 ayat 3d InternaÂtional Covenant on Civil and PoÂlitical Rights (Perjanjian InternaÂsional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) juga merumuskan hal serupa, jika tersangka/terdakwa tidak mempunyai penasehat hukum maka demi kepentingan peradilan perlu ditunjuk penasÂehat hukum untuknya, dan jika ia tidak mampu membayar peÂnasehat hukum ia dibebaskan dari pembayaran. Sudah barang tentu yang dimaksud dengan penasehat hukum di atas adalah Advokat. (*)