JAKARTA, TODAY — Kementerian PertaÂnian (Kementan) mengklaim tahun ini tak perlu mengimpor jagung. Ini didasarkan atas produksi jagung lokal yang dinilai cukup unÂtuk memenuhi kebutuhan nasional, khususÂnya untuk industri pakan ternak.
Kepala Biro Informasi Publik Kementan, Agung Hendriadi mengungkapkan, secara naÂsional, pada 2015 produksi jagung total adalah 19,83 juta ton. Sementara dengan luas tanam yang ada, produksi diprediksi akan naik menÂjadi 21,53 juta ton pada tahun 2016.
“Dengan konsumsi industri pakan nasiÂonal rata rata 0,7 juta ton/bulan dan konsumsi langsung berkisar 15 juta ton, maka diperkirakan produksi jagÂung nasional akan bisa memenuhi kebutuhan nasional,†jelas Agung, Minggu (24/4/2016).
“Kementan telah mentargetkan produksi nasional 24 juta ton dan kebutuhan jagung pada industri pakan harus dapat dipenuhi 100% dari jagung lokal, dan menekan imÂpor jagung untuk semua keperluan tidak lebih dari 1 juta,†tambahnya.
Secara khusus, sambung Agung, pihaknya telah mendorong penggunaan jagung hibrida serta menyebar banyak bantuan berupa alat dan mesin pertanian (alsintan) pada banyak kelompok tani sejak awal tahun 2016. “Mendorong penggunaan benih jagung hibrida yang telah dibuktikan mampu meningkatkan produktivitas menÂcapai 7-8 ton/ha. Kementan telah meluncurkan bantuan alat dan mesin mesin pertanian, baik alat tanam maupun panen. Melalui peÂmanfaatan alsintan tersebut, biaya produksi dapat ditekan hingga 20-30% dibanding manual,†katanya.
Dia melanjutkan, dari sisi pemasaran pasca panen, pihaknya telah menyusun skema ulang agar industri pakan ternak diwajibkan menyerap jagung dari petani. SeÂlama ini, kontrak perjanjian antara petani dengan industri masih sangat sedikit.
“Pada contract farming ini, tidak terbatas pada pembelian jagung oleh industri pakan dengan harga yang wajar, tetapi juga pembinaan produksi dan pasca panen oleh inÂdustri. Hal in sangat mungkin dilakuÂkan, karena kontrak antar industri pakan dan peternak sampai saat ini mencapai 80%, sedangkan kontrak industri pakan dengan petani jagung baru 1.3%,†tutupnya.
Impor Singkong
Sementara itu, pekan lalu Badan Pusat Statistik (BPS) menÂcatat Indonesia masih mengimÂpor ubi kayu atau singkong. Impor singkong pada Maret 2016 menÂcapai 987,5 ton atau senilai USD 191.093. Impor singkong mayoriÂtas didatangkan dari Vietnam.
Melihat fenomena ini, KeÂmenterian Pertanian (Kementan) selaku regulator sektor pertanian angkat suara. “Adanya impor ubi kayu terjadi pada bulan Januari-Maret disebabkan pola produksi bulan tersebut rendah,†tulis Agung Hendriadi.
Penyebab impor lainnya bukan karena kekurangan produksi, tetaÂpi produk ubi kayu nasional belum semuanya memiliki standar kualiÂtas Hazard Analysis Critical Control Point Specification (HACCP).
Lanjut Agung, Indonesia sebetulnya juga tercatat sebagai eksportir ubi kayu. Selama tahun 2015, petani Indonesia mengekÂspor 16.755 ton uni kayu senilai USD 8,7 juta.
Meski tercatat sebagai eksportir, Kementan berkomitmen menekan angka impor. Kementan melakukan upaya peningkatan produksi dengan jalan membantu pemberian sarana produksi (saprodi).
“Upaya meningkatkan produksi tahun 2016, sedang dilakukan meÂlalui program peningkatan produksi umbi kayu seluas 25.000 ha, di Aceh, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Yogya, Kaltim, Kaltara. Ada 11 Provinsi, pemerinÂtah bantu saprodi,†sebutnya.
Kementan mencatat produksi ubi kayu di 2015 sebesar 21,7 juta ton, sedangkan tahun 2016 ditargetkan sebanyak 27 juta ton. Produksi ubi kayu nasional tercatat terbesar nomer 3 di dunia setelah Nigeria dan Thailand. Dari total produksi 21,7 juta ton, sebesar 0,8 juta ton untuk dikonsumsi langÂsung, 10 juta ton untuk industri pangan pakan, sisanya 10 juta ton untuk kebutuhan ekspor dan inÂdustri lainnya “Produsen terbesar di Lampung 279.000 ton atau setaÂra 13, 2 % dari produksi nasional,†tambahnya.
(Alfian M|dtc)