Untitled-7JAKARTA, TODAY—Belum tuntas. Inilah ungkapan yang tepat un­tuk menggambarkan drama suap reklamasi Teluk Jakarta. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mengejar komitmen yang dibuat antara Gubernur DKI Ja­karta, Basuki ‘’Ahok’’ Tjahaya Pur­nama dan bos Agung Sedayu Grup, Aguan Sugianto.

Selasa (17/5/2016) kemarin, pe­nyidik KPK kembali memeriksa Aguan selama tujuh jam. Dalam pemeriksaannya yang ketiga ini, Aguan masih bungkam mengenai keterlibatannya dalam kasus suap Raperda reklamasi tersebut.

Aguan sebelumnya tiba di KPK, Selasa (17/5/2016) sekitar pu­kul 09.40 WIB. Setelah diperiksa selama 7 jam, Aguan keluar dari gedung KPK. Namun dia masih memilih bungkam ketika dicecar seputar pertanyaan yang ditanyai penyidik terkait kasus tersebut.

Setelah sebelumnya diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa ketua komisi D DPRD DKI M Sanusi, kali ini dia diperiksa sebagai saksi untuk Presiden Direktur PT Agung Podo­moro Land, Ariesman Widjaja. Ini pertama kalinya Aguan menjadi saksi untuk Ariesman.

Sikap bungkam Aguan, bu­kan pada pemeriksaan hari ini saja. Beberapa waktu lalu saat pemeriksaan pertama, Aguan juga bungkam saat ditanya oleh para jurnalis mengenai kasus­nya. Penyidik KPK tengah mendalami proses penetapan kontribusi tambahan 15 persen yang dimintakan Gubernur DKI Jakarta Ba­suki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Rancan­gan Peraturan Daerah (Raperda) Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Ra­perda itu menjadi latar belakang terjadinya penyuapan dari perusahaan pengembang kepada anggota DPRD DKI M Sanusi.

KPK pun menduga adanya tarik menarik kepakatan antara perusahaan pengembang dan Pemprov DKI dalam penetapan tamba­han kontribusi tersebut. Malahan ada pula dugaan adanya barter pembayaran tamba­han kontribusi tersebut dengan sejumlah proyek Pemprov DKI. “Penyidik tentu men­dalami apa saja yang terkait dengan izin reklamasi,” kata Plh Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati ketika dikonfirmasi, kemarin.

BACA JUGA :  Dijamin Bikin Nagih! Ini Dia Resep Kolang Kaling Saus Santan yang Sedap dan Mantap

Terkait tambahan kontribusi tersebut, Ahok telah mengakui bahwa dia menggu­nakan ‘perjanjian preman’ untuk mengako­modasi hal tersebut. Padahal pasal mengenai kontribusi tambahan seharusnya dimasukkan dalam raperda yang belum juga disahkan oleh DPRD DKI. “Kalau perjanjian itu kan kamu suka sama suka, berarti kuat dong. Kerja sama bisnis kok. Ya kalau enggak ada perjanjian kan enggak kuat. Makanya sebe­lum saya tetapkan itu, saya ikat dulu pakai perjanjian kerja sama,” ucap Ahok beberapa waktu lalu.

Perjanjian yang disebut Ahok sebagai ‘perjanjian preman’ itu dibikin melalui rapat dengan pihak pengembang yaitu PT Agung Podomoro Land tanggal 18 Maret 2014. Saat itu Ariesman juga hadir dalam rapat tersebut. Ahok menganalogikan Pemprov DKI sebagai preman resmi yang memiliki kewenangan untuk menarik kontribusi tambahan kepada pengembang reklamasi. Hanya saja, dasar hukum untuk menarik kontribusi tamba­han itu berada di dalam raperda yang belum disahkan sehingga dia menggunakan ‘perjan­jian preman’ tersebut.

Sejurus kemudian, Ahok mengakui bah­wa PT Agung Podomoro Land telah mem­bayar kontribusi tambahan tersebut dengan dasar ‘perjanjian preman’ itu. Namun PT Agung Podomoro Land disebut Ahok baru membayar sekitar Rp 200 miliar. “Sekarang pertanyaannya, Podomoro sudah serahkan berapa? Dia baru serahkan ke kita Rp 200-an miliar dari (kewajiban atas proyek) yang su­dah dikerjakan” kata Ahok, kemarin.

Kontribusi tambahan itu disebut Ahok se­bagai syarat agar pengembang mendapatkan izin untuk melakukan reklamasi. Padahal se­jauh ini, raperda yang seharusnya menjadi lan­dasan reklamasi masih mandek di DPRD DKI karena berbau rasuah dan tengah diusut KPK.

BACA JUGA :  Takjil Segar dengan Blewah Pepaya yang Enak Cocok untuk Menu Bukber

KPK mengkaji informasi soal barter dana penggusuran Kalijodo dan kontribusi untuk reklamasi. Kajian soal ini masih berjalan, KPK mencari dugaan pidana. “Kajiannya sedang berjalan. Belum ada kesimpulan, tetapi terus saya tegaskan penyidikan dan penyelidikan sedang berjalan,” ujar Wakil Ketua KPK La Ode M Syarif di Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jaksel, Selasa (17/5/2016).

La Ode mengakui ada beberapa penyeli­dikan yang sedang berjalan, meski tak mau menyebutkan rinciannya. “Ada beberapa. (mengenai tambahan kontribusi reklamasi) itu satu yang dipelajari,” ucapnya.

Sebelumnya perihal barter tersebut dis­ampaikan oleh Ketua Komisi D DPRD DKI, M Sanusi melalui pengacaranya, Krisna Murthi, usai mendampingi kliennya diperiksa pada Rabu kemarin. Krisna menyebut M Sanusi sempat kaget karena pertanyaan itu sempat terlontar dari penyidik KPK kepada kliennya.

Sedang Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menegaskan bahwa bar­ter semacam itu tidak ada. Menurut Ahok, tambahan kontribusi 15 persen penting bagi Pemprov DKI. “Jadi bukan barter 15 persen loh. Justru kalau enggak ada 15 persen, mati saya,” kata Ahok.

Namun Ahok mengaku tidak tahu pasti dari mana asal uang bantuan yang digunak­an untuk membantu penertiban kawasan-kawasan Jakarta. Ahok menyebut asal uang itu bisa dari anggaran Pemprov DKI atau bisa dari perusahaan swasta. “Ada yang dari kita, ada yang mungkin mereka (perusahaan swasta) keluarkan,” kata Ahok.

Terlepas dari itu, penetapan kontribusi tambahan 15 persen sebenarnya masih be­lum memiliki payung hukum lantaran pem­bahasan raperda mandek. Menilik dari hal itu seharusnya pihak Pemprov DKI belum bisa memaksakan kewajiban itu terhadap perusa­haan pengembang. (Yuska Apitya Aji)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================