Oleh: Ahmad Agus Fitriawan
Guru MTs. Yamanka & SMK Avicenna Mandiri
Kec. Rancabungur Kab. Bogor

Dalam memahami makna Isra Mi’raj, selaku umat Islam dapat meniliknya dari dua dimensi, yaitu dimensi fisik dan dimenasi metafisik. Dalam dimensi fisik, peristiwa tersebut harus menjadi i’tibar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mis­al, ketika dada Rasul dibedah oleh Malaikat Jibril dan Mikail, mengil­hamkan kepada manusia untuk menggali ilmu medis (kedokter­an) yang tidak hanya bisa mem­bedah pasien dengan peralatan super canggih, tetapi yang lebih penting disamping bisa sembuh, juga bagaimana agar bisa terasa ti­dak sakit. Sebab ketika dada Rasul dibedah, beliau tidak merasakan sakit, dan dalam keadaan sadar.

Masih mengenai dibedahnya dada Rasul sebelum dimi’rajkan, juga memberikan pengertian kepada manusia yang berke­inginan menuju ke luar angkasa harus benar-benar mempersiap­kan fisiknya secara matang, agar bisa mengatasi gravitasi bumi, kekurangan udara beroksigen, mengatasi udara yang teramat panas, pantulan sinar ultraviolet (UV) yang membahayakan, dan mengatasi keadaan tanpa bobot.

Begitu pula tentang Buroq, memacu kreatifitas manusia untuk bisa menciptakan kenda­raan tercepat, namun aman dan tidak menimbulkan polusi bagi lingkungan. Kendaraan tersebut baik darat, maupun udara. Dan ternyata hal itu sudah dibukti­kan oleh negara maju, seperti membuat pesawat udara yang kecepatannya tujuh kali kecepa­tan suara, kereta api super cepat, dan mobil yang bahan bakarnya memakai tenaga sinar matahari.

Pada rabu (14/10/2015), in­formasi yang dilansir Daily Mail, telah mebuat desain pe­sawat yang disebut-sebut sebagai `Concorde 2` ini bahkan telah di­patenkan. Diungkap, pesawat su­personik tersebut dikategorikan ke dalam jenis pesawat komersial pabrikan Airbus. Paten desain itu menjelaskan bahwa pesawat canggih ini tak hanya mampu me­lesat dalam kecepatan superson­ik namun juga mampu mendarat dan take off secara vertikal. Pe­sawat ini mampu melesat dalam kecepatan fluid dynamicsse­banyak 4,5 kali lipat, yang mana mampu terbang dari London ke New York hanya dalam waktu satu jam. (sumber: http://tekno. liputan6.com/read/2339275)

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Itulah diantaranya yang di­mensi fisik. Sedangkan yang metafisik, merangsang keimanan untuk melihat bagaimana kekua­saan Allah SWT secara luas dan nyata, sehingga menjadi semakin mantap dan bertambah kadar keimanan kita. Misalnya dalam masalah dimi’rajkannya Nabi dengan melintasi tujuh lapis lan­git, yang kemudian terbuka hijab, berdialog dengan Allah di Sidratul Muntaha. Secara aqli pernyataan tersebut membahayakan sekali. Sebab Allah dinyatakan adanya itu dalam ruang dan tempat. Padahal tidak demikian ada-Nya. Karena itu dalam memahaminya, ha­rus mengacu pada nilai uluhiyyah yang transendental. Kita harus melihat dan memandang sidratul Muntaha itu minimal dalam dua sudut pandang, yaitu galaktif dan teologis. Dari sudut galaktif, kita menjelajah langit berdasarkan ilmu manusia. Untuk mendekati galaksi terdekat saja, memerlu­kan ribuan tahun perjalanan ca­haya. Ini berarti secara fisik, kita melihat galaksi pada kurun waktu ribuan tahun yang lalu. Lalu mun­cul kesulitan, yaitu apakah benar Allah berada di suatu tempat yang berdimensi fisik?

Disini kita harus mampu me­letakkan masalah tersebut pada sudut pandang yang kedua, yaitu teologis, logika teologis. Logika teologisnya, kalau saja manu­sia mampu membuat pesawat dengan melebihi kecepatan su­ara, mengapa Allah Maha Pen­cipta tidak mampu menjalankan Nabi Muhammad dengan tera­mat cepat? Dan jika seorang as­tronot bila hendak mengangkasa fisiknya dipersiapkan sedemikian rupa, maka sangat wajar kalau Muhammad juga dadanya di­belah dan diisi dengan keimanan, ilmu dan kesabaran.

Kedua dimensi di atas ha­rus dikondisikan secara imbang, sehingga diharapkan melahir­kan teknologi yang berwajah Islami, juga dalam berusah­anya senantiasa bersyukur dan berta’abudillah. Sebab banyak cendekiawan yang mencoba me­misahkan agama dengan ilmu. Mereka mengatakan “science for science”. Tidak ingat kalau fungsi ilmu itu untuk membebaskan ma­nusia dari kejahiliyahan, keterbe­lakangan, dan kekafiran.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Salahnya dalam memandang ilmu dan agama, mengakibatkan banyak kekhawatiran-kekhawati­ran yang mencuat ke permukaan, baik datangnya dari pada ahli maupun dari masyarakat awwam. Kekhawatiran filusuf Prancis yang mengatakan bahwa, “teknologi memang penuh gayaguna, na­mun untuk memperoleh teknolo­gi yang baik, sangatlah ditentukan oleh moral dan agama. Karenan­ya Dr. AM. Saefuddin membagi masyarakat modern itu ke dalam dua bagian. Pertama, masyarakat modern yang sesuai dengan aja­ran Islam, dan kedua, masyarakat moden yang jahiliyah.

Masyarakat modern yang is­lami, ialah struktur kehidupan masyarakat yang dinamis, kreatif untuk melahirkan gagasan-gaga­san demi kepentingan manusia dalam berbagai sektor kehidu­pan. Dan dalam masyarakat ini, daya fikir dan cipta sedemikian berkembang untuk memformu­lasikan makna kehidupan dalam konteks nyata, yang mengaki­batkan pergeseran nilai budaya dalam setiap saatnya.

Sedangkan masyarakat modern jahiliyah, adalah masyarakat yang hanya mengandalkan budi­daya manusia untuk merumuskan prinsip-prinsip kehidupan yang tidak bisa dipertahankan. Karena paradigma dan epistemologinya yang dipahami kering sama sekali dari nilai-nilai spiritual. Manusia merasa unggul, karena pene­muan sains dan teknologi melalui otaknya yang brilyan, membuat dia tambah ambisi untuk mena­klukkan alam. Karena menurut anggapannya, alam harus ditentu­kan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin demi kepentingan ma­nusia. Akibatnya, alampun balik membalas dengan berupa longsor, banjir, kekeringan, krisis energi, wabah dan bencana lainnya.

Karenanya umat Islam se­cara langsung, terpanggil untuk mengatasi masalah-masalah dan krisis kemanusiaan pada zaman modern ini. Selanjutnya diganti dengan peradaban dan kebu­dayaan yang secara prinsip ber­tumpu pada kekuatan spiritual. Kekuatan spiritual ini ditandai dengan tuntunan wahyu Illahi, yang kemudian menciptakan ke­sadaran baru, dan penghambaan diri kepada Allah. Penghambaan ini merupakan prinsip paling utama. Dan atas dasar kesadaran penghambaan tersebut, lahirlah manusia-manusia yang bebas dan kreatif, dan egalitarian. Prinsip ini disebut individu dan masyara­kat yang bertakwa. (*)

============================================================
============================================================
============================================================