JAKARTA, TODAY—Pemerintah belum menentukan eksekutor kebiri kimia terÂhadap pelaku kekerasan seksual terhaÂdap anak, menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang memuat tenÂtang hukuman kebiri kimia.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan soal eksekutor akan dibaÂhas lebih lanjut oleh menteri-menteri terkait. “Nanti Menteri Kesehatan (Nila
Moeloek) yang akan menyiapkan bersama Menteri Hukum dan HAM (YaÂsonna Laoly) dan Menko PMK (Puan Maharani),†kata Pramono di Jakarta, Kamis (26/5/2016).
Kebiri kimia merupakan salah satu pidana tambahan yang diatur dalam Perppu Perlindungan Anak. Pidana tambahan itu diberikan bersamaan dengan pidana pokok.
Pasal 81 A ayat 1 mengatur bahwa hukuman tambahan, kebiri, dan pemaÂsangan cip diberlakukan paling lama dua tahun setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaksanaan kebiri kimia disertai rehabilitasi, dan pemÂberlakuannya diawasi berkala oleh keÂmenterian bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
Perppu Perlindungan Anak yang memuat hukuman kebiri itu telah diÂtandatangani Presiden Jokowi menyuÂsul maraknya kekerasan seksual terhaÂdap anak di Indonesia belakangan ini. Perppu akan segera dikirimkan dan dimintakan persetujuan ke DPR dalam waktu dekat. Ketua DPR Ade KomaÂrudin telah menyatakan mendukung pemberlakuan perppu ini.
Menteri Hukum dan Hak Asasi MaÂnusia Yasonna H. Laoly mengakui bahÂwa aspek eksekutor hukuman kebiri yang tertera dalam Peraturan PemerÂintah Pengganti Undang-Undang (PerpÂpu) Perlindungan Anak masih menjadi perdebatan. Perdebatan tersebut diÂdasari kabar adanya sejumlah dokter yang enggan menjadi eksekutor.
Yasonna mengatakan dokter meÂmiliki fungsi untuk menyembuhkan orang bukan malah sebaliknya, dan itu juga menjadi sumpah profesi dari para dokter. “Teknisnya memang menjadi perdebatan karena dokter kan menyÂembuhkan bukan memberi rasa sakit,†ujar Yasonna saat ditemui di Hotel BiÂdakara Jakarta, Kamis (26/5/2016).
Menurut Yasonna, tugas dan fungÂsi dokter tersebut memang menjadi perdebatan tapi pada akhirnya dokter juga merupakan warga negara yang harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Di beberapa negara lain, lanjut YaÂsonna, banyak negara yang melakukan eksekusi mati dengan metode suntik mati yang biasanya itu dilakukan oleh para dokter. Contoh seperti itu diangÂgap Yasonna bisa juga diterapkan di Indonesia, hanya saja kondisinya buÂkan eksekusi mati melainkan hanya hukuman kebiri. “Jadi saya kira kalau perintahnya hukum ya mereka tak bisa mengelak dari itu karena itu merupakÂan perintah hukum dan semua harus patuh,†ujarnya.
Perppu ini juga memuat pemÂberatan dan penambahan hukuman. Mulai dari hukuman pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun, hukuman penjara seumur hidup, dan hukuman mati. PenamÂbahan pidana seperti kebiri kimia, pengungkapan identitas, dan pemaÂsangan alat deteksi elektronik pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Di Tangan Hakim
Menteri Yasonna mengungkapkan majelis hakim di pengadilan tak akan sembarangan dalam menjatuhkan voÂnis hukuman kebiri itu. Pasti akan ada beberapa aspek lain yang dipikirkan majelis hakim sebelum memvonis para terdakwa. “Hukuman itu terserah haÂkim dan hakim tak akan sembarangan dalam menjatuhkan hukuman itu,†ujarnya.
Aspek pertama yang mungkin akan menjadi pertimbangan hakim adalah berapa kali terdakwa itu terlibat kasus asusila. Jika terdakwa sudah sangat sering berurusan dengan kasus asulisa maka bisa saja hukuman tambahan itu dibebankan padanya.
Namun begitu, Yasonna menegasÂkan sifat dari hukuman kebiri itu hanÂyalah hukuman tambahan dan yang penting tetaplah hukuman pokoknya.