JAKARTA, TODAY—Salah satu persoalan dagÂing sapi adalah harga yang tinggi di atas Rp 100.000/kg. Pemerintah pun bergerak untuk menekan harga dengan mengimÂpor daging sapi beku yang dibanÂderol antara Rp 70.000-Rp 90.000/kg.
Lantas, kenapa daging sapi di IndoÂnesia kerap bermaÂsalah? Menurut KomiÂsi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), ada dua faktor yang memicu masalah daging sapi.
Pertama, data konsumsi daging sapi antar kementerian berbeda. Ketua KPPU, Syarkawi Rauf mengatakan, data konsumsi daging di Kementerian Koordinator Perekonomian 2,61 kilogram (kg) per kapita per tahun. Namun, di Kementerian Pertanian menyebutkan konÂsumsinya hanya 1,75 kg per kapita per tahun. “Data ini kan implikasinya pada data kebutuÂhan daging sapi nasional. Kalau di situ saja ada
perbedaan, menentukan kuota bagaimana dasarnya,†ujar Syarkawi di Istana Negara, Senin (6/6/2016).
Kedua, rantai distribusi daging sapi yang cukup panjang. “Selama ini kan, sapi masuk ke feedloter, lalu ke RPH (Rumah Potong Hewan), ke ritel, baru masuk ke end user. Ternyata, dari feedloter ke RPH itu ada perantaranya, dan dari RPH ke ritel juga ada perantaranya,†tutur Syarkawi.
Syarkawi menambahkan, keinginan permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar harga daging di bawah Rp 80.000/kg seharusnya bisa tercapai. Salah satunya adalah dengan membuat kapal ternak untuk mengangkut sapi dari NTT dan NTB ke Jakarta.
KPPU menilai ada masalah di rantai distribusi. “Persoalannya itu di tingkat tengah, didistribusinÂya. Ke depan, ini yang menjadi pekerjaan beratnya pemerintah,†ujar Syarkawi.
Dia mencontohkan, di Jambi KPPU menemuÂkan harga daging ayam naik di tingkat pedagang. Padahal, permintaan tidak bertambah dan harga di peternak juga tak naik. Contoh lain, harga bawang merah di Nganjuk, Jawa Timur, naik. Padahal, paÂsokan bawang merah banyak karena sedang panen. “Di Nganjuk, bawang merah sedang panen. Tapi di pasar malah ada kenaikan. Ini yang rantai distribusÂinya bermasalah,†tutur Syarkawi.
Sebagai informasi, daging sapi impor sudah masuk ke pasar di kawasan Jakarta. Salah satunya adalah Pasar Jatinegara. Di pasar ini daging beku imÂpor dibanderol Rp 70.000-Rp 90.000/kg.
Sedangkan harga daging sapi lokal masih tinggi yaiÂtu Rp 120.000/kg. Kemudian, bawang merah di pasar Jatinegara juga masih tinggi, yaitu Rp 40.000/kg.
Data Sembako Tak Akurat
Data pemerintah yang tak akurat dianggap jadi salah satu penyumbang gejolak harga pangan. Di sisi lain, pemerintah selalu beranggapan produksi panÂgan surplus, meski harganya naik.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J Supit, mengungkapkan kondisi ini pula yang membuat masalah klasik lonjakan harga pangan saat hari keagamaan tak pernah selesai.
“Ini berulang setiap Lebaran, selalu jadi soal. Persoalannya ada di data, kaya dalam militer data intelijen paling penting, tak mungkin menang kaÂlau datanya salah. Makanya data pangan ini paling sensitif, berapa banyak pemerintah sebelumnya jatuh karena pangan,†katanya di acara Sengkarut Tata Kelola Pangan, di Veteran Coffee, Jakarta, Senin (6/6/2016).
Menurut Anton, data yang kurang akurat disaÂjikan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi, karena sebagian besar sumber datanya berasal dari data sekunder. “Data BPS kebanyakan juga dari sekunder, dari Dinas Pertanian. Padahal Kepala Dinas, Bupati, dan pemerintah itu punya kepentingan dengan angÂgaran,†jelasnya.
Anton mencontohkan, data produksi padi yang selama ini diklaim surplus, namun pada kenyataanÂnya harus tetap impor. Yakni produksi pada tahun 2015 “Kalau mau data besar anggarkan lebih besar buat BPS agar bisa dapatkan data primer, agar tidak tergantung lagi dengan data sekunder,†kata Anton.
(Yuska Apitya/dtk)
Bagi Halaman