Tak ada perbedaan waktu awal Ramadan tahun ini di Indonesia. Baik pemerintah, Ormas Nahdlatul Ulama maupun MuhammadiÂyah menjalankan ibadah puasa mulai tanggal 6 Juni 2016. KeseragaÂman ini diprediksi bakal terjadi sampai lima tahun ke depan.
KEPALA Lembaga PenerÂbangan dan Antariksa NaÂsional (LAPAN) Thomas Djamaluddin menerangÂkan, di Indonesia ada dua penentuan awal Ramadan dan Syawal, sampai DzulÂhijjah, yakni melalui metoÂda rukyat dan hisab. KedÂuanya memiliki dalil yang kuat. Namun keduanya juga memiliki kriteria.
Pengguna metoda hisab seperti Ormas Mu h amma d i y a h , menggunakan kriteÂria ketinggian bulan 0 derajat. Sementara NU memiliki kriteria miniÂmal ketinggian bulan 2 derajat.
Nah, dalam beberapa tahun lalu, terjadi perbeÂdaan ketinggian ini, atau posisi bulan berada di anÂtara 0-2 derajat, sehingga memunculkan perbedaan.
“Mulai tahun ini sampai 5 tahun ke depan, samÂpai 2021, posisi bulan pada saat hari rukyat, sudah umumnya di atas 2 derajat, di luar rentang 0-2 deraÂjat,†kata Thomas, Senin (6/6/2016).
“Posisi bulan menguntungkan. Bukan di antara 0-2 derajat, maka ada potensi keseragaman penentuÂan 1 Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah,†tambahnya.
Bila dua ormas itu sudah terjadi kesepakatan, biasanya yang lain akan mengikuti. Thomas memÂprediksi, dalam lima tahun ke depan tidak banyak perdebatan lagi soal penentuan awal Ramadan dan 1 Syawal.
Membuat Kalender Islam
Dalam masa ‘tenang’ selama lima tahun ke deÂpan, Thomas mengusulkan agar terjadi dialog antara ormas dan pemerintah. Tujuannya, untuk membuat sebuah mekanisme penyeragaman terkait penentuan awal Ramadan dan Lebaran.
Ada tiga poin yang bisa dibahas, yakni pertama menentukan otoritas tunggal. Menurut Thomas, perÂlu ada satu institusi khusus yang bisa diikuti keputuÂsannya secara bersama. “Selama ini ada pemerinÂtah, ada ormas. Keputusan keduanya bisa berbeda. Keputusan pemerintah kadang bisa tidak diikuti oleh ormas,†saran Thomas.
Kedua, perlu ada kriteria tunggal dalam penenÂtuan derajat bulan. Baik Muhammadiyah dan NU bisa berdialog menyepakati kriteria tersebut dengan mengajak serta para ahli astronomi. “Kriteria itu didasarkan pada data astronomi. Kami sudah meÂnyampaikan data, tinggal ormas melakukan dialog, memilih mana yang bisa diterima,†paparnya.
Ketiga, Thomas mengusulkan agar ada batas wilayah dan batas keberlakuan. Artinya, ada ketenÂtuan mengenai wilayah mana saja penentuan ini diberlakukan. Apakah mengikuti secara global atau wilayah tertentu. “Jadi ini diharapkan dalam lima tahun masa tenang dialog makin intensif. Saya meÂlihat kecenderungan sekarang di ormas ada generasi muda, lebih melek teknologi informasi, lebih relatif terbuka dan cair untuk dialog,†tandasnya.
(Yuska Apitya Aji)
Bagi Halaman