RENCANA Presiden Joko Widodo ( Jokowi) untuk menaikkan cukai tembakau patut diapresiasi. Rokok selain menjadi komoditi ekonomi kelas menengah, juga terbilang baÂrang yang menyita kesehatan. Tak heran jika hampir 80 persen pundi pendapatan negara dikeruk dari sektor tembakau. Ini menjadi catatan penting Dirjen Pajak Kemenkeu agar konsumsi rokok benar-benar sesuai antara dampak dan daya beli.
Cukai dilekatkan pada tembakau, selain karena menimbulkan ketergantungan, juga lantaran tembakau mengakibatkan dampak eksternal negatif. Bukan hanya terhadap penggunanya, tapi juga terhadap non-peroÂkok. Secara filosofis, cukai pada rokok dijaÂdikan instrumen untuk menekan konsumen agar lebih waspada dalam mengkonsumsi rokok, bahkan kalau perlu meninggalkanÂnya. Secara universal, cukai adalah sin tax, alias pajak dosa.
Relevan dengan itu, di seluruh dunia seÂtiap 31 Mei diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS). Kali ini, tema yang diusung oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah “Raise Tax on Tobacco: NaiÂkkan Cukai Rokok!â€. Pada konteks keindoÂnesiaan, tema peringatan itu sangat tepat karena masih rendahnya cukai rokok di IndoÂnesia, yang saat ini hanya berkisar 38 persen dari harga jual. Untuk industri rokok besar, memang sudah mencapai 40 persenan.
Rendahnya cukai rokok mengakibatkan masyarakat makin mudah mengakses rokok, termasuk masyarakat miskin serta anak-anak dan remaja. Pertumbuhan konsumsi rokok di kalangan remaja di Indonesia juga tertinggi di dunia, 14 persen per tahun. Saat ini total perokok di Indonesia tidak kurang dari 75 juta orang (30 persen dari total populasi), peringÂkat ketiga di dunia, setelah Cina dan India.
Selanjutnya, cukai rokok di Indonesia sangat mendesak dinaikkan, karena UnÂdang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai mengamanatkan bahwa cukai rokok maksimum mencapai 57 persen. Dengan demikian, saat ini masih ada ruang untuk menaikkan cukai rokok sekitar 17 persen lagi. Itu pun sejatinya belum ideal kalau diÂjadikan basis pengendalian (pembatasan) konsumsi rokok. Bandingkan dengan cukai minuman keras, yang mencapai 100 persen. Bandingkan juga di berbagai negara, cukai rokoknya rata-rata mencapai 75-80 persÂen. Di Thailand, cukai rokok mencapai 80 persen. Cukai rokok di Indonesia masih terÂgolong terendah di dunia.
Memang, pada konteks pengendalian tembakau yang komprehensif, instrumen pengendalinya bukan hanya cukai, tapi juga larangan total iklan rokok (total ban advertisÂing), penerapan kawasan tanpa rokok, laranÂgan penjualan eceran, peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning), plus larangan menjual kepada anak-anak.
Meski demikian, cukai merupakan inÂstrumen paling ampuh untuk menekan konÂsumsi rokok. Menurut kajian Lembaga DeÂmografi UI (2009), menaikkan cukai justru berdampak positif terhadap makroekonomi dan kesehatan masyarakat. Pasalnya, menaiÂkkan cukai tidak akan mematikan industri rokok, bahkan pendapatan pemerintah akan meningkat tajam. Pemerintah bisa menganÂtongi cukai lebih dari Rp 200 triliun jika cuÂkai rokok mencapai 57 persen.
Masih terlalu kecil pendapatan yang diperoleh pemerintah dari cukai rokok dibandingkan dengan pendapatan bersih pengusaha rokok. Lihatlah, orang-orang terÂkaya di Indonesia adalah pengusaha rokok (Djarum, Gudang Garam). Dan masih terÂlalu kecil pula pendapatan cukai rokok jika dikomparasikan dengan dampak kesehatan dan sosial-ekonomi yang diderita masyaraÂkat dari dampak buruk rokok, yang menuÂrut kajian Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Soewarta Kosen, 2008) bisa mencapai empat kali lipatnya. Cukai naik, pendapatan pemerintah naik, masyarakat Indonesia pun semakin sehat dan sejahtera.(*)
Bagi Halaman