Salah satu hal yang selalu mencuat di seputar Lebaran adalah boleh-tidaknya mobil dinas digunakan untuk mu­dik. Faktanya, meskipun beberapa kepala daerah sudah tegas-tegas memberi larangan, tetap saja banyak mobil dinas berkeliaran di rute mudik Lebaran. Apalagi be­berapa kepala daerah tidak satu suara dalam hal ini. Hal ini pun tidak luput dari perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang telah melarang mobil dinas dipergu­nakan untuk mudik.

Beberapa pemerintah daerah memberi toleransi penggunaan mobil dinas dengan syarat bahan bakarnya dibeli menggunakan uang pribadi. Kemudian alasan lainnya adalah agar para pegawai negeri dapat kembali tepat waktu untuk masuk kerja. Sebuah alasan yang rasanya terlalu dibuat-buat. Seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi pegawai negeri untuk kembali masuk kerja pada waktunya, khususnya mereka yang tidak men­gambil jatah cuti. Ketika memutuskan mudik Lebaran, tentunya mereka sudah bersiap-siap pula memikirkan tentang arus balik. Sangat tidak rasional kesulitan mem­peroleh moda transportasi dijadikan alasan pembenar penggunaan mobil dinas.

Sadarkah mereka bahwa mobil dinas seharusnya di­pergunakan untuk kepentingan melayani publik? Mobil dinas dibeli dari uang rakyat melalui APBD. Tidak patut rasanya jika mobil dinas dipergunakan untuk kepentin­gan pribadi, yakni mudik. Sedangkan rakyat biasa harus berdesakan-desakan menggunakan bus, kereta, atau ka­pal laut. Bahkan mereka harus mengadu nyawa dengan mudik menggunakan sepeda motor. Di manakah sense of crisis para birokrat kita?

Tak aneh

Penggunaan kendaraan dinas untuk hal yang bu­kan peruntukannya tersebut tidaklah aneh. Tak usah menunggu Lebaran. Pada hari-hari biasa pun banyak mobil dinas digunakan bukan oleh si pejabat terkait. Acungan jempol untuk Menteri BUMN Dahlan Iskan yang belum lama ini memecat seorang direksi BUMN karena ulah istrinya mempergunakan fasilitas mobil kantor. Se­harusnya para pemimpin yang lain mencontoh hal terse­but, bukan malah membiarkan para abdi negara mudik memakai fasilitas kantor.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Kita pun tak usah heran jika melihat mobil dinas pada sore hari dipakai istri pejabat untuk pergi arisan atau berbelanja ke mal. Tak usah heran juga jika mobil dinas dipergunakan untuk mengantar anak pergi sekolah atau les. Bahkan tak usah heran jika ada sepeda motor dinas yang dipakai sang anak untuk pergi apel malam minggu. Hal tersebut lumrah di seantero negeri ini.

Dalam benak kita mungkin yang terbayang, mobil dinas itu adalah hak sang pejabat sehingga bebas mau di­apakan, termasuk dipakai oleh keluarganya untuk keper­luan pribadi. Tapi sadarkah kita bahwa uang yang dipakai untuk membeli mobil dinas itu berasal dari uang rakyat, dari pajak yang kita bayarkan? Tak mudah, memang, untuk membangkitkan kepedulian kita terhadap hal-hal seperti di atas. Bangsa ini sudah terlalu lama terbiasa menenggang berbagai pelanggaran etika yang dilakukan para pejabat, khususnya terkait dengan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau golongan. Padahal seharusnya kita mencontoh suri tauladan Khali­fah Umar Bin Khattab, yakni, ketika ia menerima tamu yang ternyata datang menemuinya untuk urusan pribadi, maka lampu di ruangannya ia matikan. Beliau tidak mau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi. Sungguh suatu contoh yang bisa dikatakan sangat sulit kita temui lagi di zaman sekarang ini.

Etika profesi

Jika kita telaah kembali, kira-kira apa yang menyebab­kan para penyelenggara negara tanpa rasa malu menggu­nakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi? Kuncinya adalah kegagalan etika profesi. Khusus pegawai negeri, sudah ada PP Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Nah, kembali ke masalah penggunaan fasilitas negara untuk keperluan pribadi, intinya adalah masalah kepatu­tan dan rasa malu. Secara etika, apakah patut para peja­bat yang notabene mempunyai penghasilan besar masih menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi? Tentu sangat tidak pantas dan memalukan. Para pejabat adalah juga pelayan publik. Bagaimana mungkin mereka akan bisa memikirkan rakyat dan memberikan pelayanan terbaik jika tanpa rasa malu mereka menggunakan fasili­tas negara untuk memenuhi keperluan pribadi.

Dengan kata lain, yang dikedepankan di benaknya adalah terpenuhinya dulu kepentingan pribadi, barulah memikirkan melayani rakyat. Beberapa bentuk perbuatan tidak etis yang sering dilakukan para pejabat penyelengg­ara negara, misalnya, ketidakjujuran dan mengabaikan hu­kum. KPK sudah melarang penggunaan mobil dinas, ting­gal sekarang kita lihat kepatuhan terhadap larangan itu.

Penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi tidak hanya menunjukkan sikap mengabaikan hukum, tetapi juga mencerminkan sifat serakah para penyelenggara neg­ara. Kwik Kian Gie pernah mengatakan bahwa keserakahan materi menjadi sumber terjadinya tindakan tidak etis, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Lalu, bagaimana agar para penyelenggara negara, khususnya pegawai negeri, ter­hindar dari tindakan tidak etis? Laksanakan saja etika pega­wai negeri dalam bermasyarakat seperti tertera dalam Pasal 10 PP nomor 42/2004, di antaranya berpola hidup sederhana dan tanggap terhadap keadaan lingkungan masyarakat. (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================