Sementara Kepala Bidang Pence­gahan, Pemberantasan Penyakit dan Lingkungan (P2PKL) pada Dinas Ke­sehatan Kabupaten Bogor, dr Kus­nadi menjelaskan, selain uji lab untuk mengetahui vaksin palsu atau asli, manyoritas vaksin produksi Biofarma dilengkapi dengan VVM (Vaksin Vial Monitor). “Itu merupakan alat pan­tau paparan suhu panas yang sangat sensitif. Biasanya berupa kotak putih kecil di botol vaksin. Kalau warnanya berubah menghitam, maka vaksin itu tak layak digunakan dan harus dibuang,” katanya.

Kusnadi menambahkan, bayi atau anak yang diberi vaksin palsu, biasan­ya mengalami alergi. “Macam-macam alerginya. Seperti kulit memerah. Tapi, kalau vaksin yang disediakan pemerintah, efek yang ditimbulkan biasanya panas. Tapi itu memang pe­nyalit yang diberikan ke tubuh anak agar mampu membentuk sistem imun tubuhnya,” pungkasnya.

Sementara itu, Direktur Penga­wasan Produksi Produk Terapetik, Badan Pengawas Obat dan Makanan Togi Junice Hutadjulu mengatakan pihaknya melakukan pengecekan vaksin palsu yang tersebar di seluruh Indonesia. “Kami sudah minta 32 Ba­lai BPOM di Indonesia telusuri vaksin palsu ini,” katanya, kemarin.

Menurut Toni, sampai saat ini, ia menemukan tujuh lokasi tempat terduga palsu. “Kami menemukan dugaan vaksin palsu di empat lokasi baru,” katanya. Sebelumnya sudah ditemukan peredaran vaksin palsu di Banten, DKI Jakarta, dan Bekasi.

BACA JUGA :  Agar Tak Mudah Sakit saat Puasa, 5 Minuman Ini Bisa Tambah Imunitas

Toni mengatakan BPOM bekerja sama dengan tiga produsen vaksin yang produknya dipalsukan oleh pelaku, yakni Sanofi Pasteur, GlaxoS­mithKline (GSK) dan Biofarma. “Nanti perusahaan itu verifikasi vaksin palsu itu,” kata Togi.

Kemarin, Togi dan tim menjelas­kan kepada Komisi Kesehatan DPR terkait dengan vaksin palsu itu. Ia pun akan menjelaskan tentang hasil peny­elidikannya, serta menyebut daerah baru tempat ditemukannya vaksin palsu.

Sebelumnya, ada lima vaksin yang dipalsukan, yaitu Tubercullin, Pe­diacel, Tripacel, Harfix, dan Biosef. Kasus ini ditemukan di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Menteri Ke­sehatan mengecam tindakan pemal­suan vaksin itu.

Peredaran vaksin palsu ternyata sudah berlangsung 13 tahun dan men­cakup berbagai wilayah di Indonesia. Komisi IX DPR yang membidangi ke­sehatan pun menaruh curiga. “Saya curiga ada mafia bermain dari pem­buat, pemasok sampai user. Ini rapi dan tidak terbongkar dari 2003. Saya tidak yakin paramedis tidak bisa mem­bedakan vaksin asli dan palsu karena harganya beda sekali,” kata anggota Komisi X Irma Suryani, kemarin.

BACA JUGA :  Takjil Segar dengan Blewah Pepaya yang Enak Cocok untuk Menu Bukber

Hal itu disampaikan dalam rapat kerja dengan Menkes Nila Moeloek, Plt Kepala BPOM Tengku Bahdar Jo­han Hamid, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Aman Bhakti Pu­lungan, serta perwakilan dari Bio­farma. Rapat khusus membahas vak­sin palsu ini berlangsung di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (27/6/2016). “Dari sini (harga) saja, RS dan paramedis harusnya tahu kalau ini palsu. Tapi mengapa bisa sekian lama tidak diketahui,” ujarnya heran.

Sementara itu, anggota F-PAN Saleh Daulay mengaku tidak puas dengan penjelasan Kemenkes lewat Twitter soal vaksin palsu ini. Menu­rutnya, pemerintah menganggap ini bukan hal besar. “Vaksin palsu ini disebut hanya 1 persen. Ini menye­pelekan masalah. Kalau ada 1 persen yang meninggal karena vaksin ini, ini pelanggaran,” ujar Saleh.

Penjelasan-penjelasan Kemenkes lewat media dianggap belum memuas­kan. Saleh juga meminta agar pemerin­tah bertanggung jawab. “Vaksin palsu ini bentuk kelalaian dari pemerintah. Tidak hanya melanggar UU kesehatan tapi juga konstitusi,” ucapnya. (*)

 

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================