PADA Mei 2015 lalu, Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dipimpin Faisal Basri memberikan 12 rekomendasi kepada pemerintah. Salah satunya adalah penghapusan bensin RON 88 alias premium.
Oleh : Yuska Apitya
[email protected]
Kementerian ESDM mengaku telah memiliki roadmap untuk secara bertahap menghilangkan premium dari pasaran. Berdasarkan roadÂmap yang disusun ESDM, premium paling cepat bisa dihapus pada 2025.
Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN WiÂratmaja Puja, menjelaskan bahwa premium tidak bisa segera dihapus karena sebagian besar kilang minyak di Indonesia didesain
untuk memproduksi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium. Butuh waktu untuk memodifikasi kilang-kilang yang ada, mengkonversinya sehingga dapat memproduksi benÂsin dengan kadar oktan di atas 88. “Kan ada roadmap-nya kita, roadÂmap-nya nanti disesuaikan denÂgan program revitalisasi kilang. Revitalisasi kilang kan butuh wakÂtu. Roadmap-nya (penghapusan premium) 2025, secara bertahap ya,†kata Wiratmaja di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (9/8/2016). Revitalisasi kilang minyak juga memÂbutuhkan dana tak sedikit. Sebagai gambaran, Pertamina menganggarÂkan biaya investasi sebesar US$ 5 miliar untuk proyek Refinery DevelÂopment Master Plan (RDMP) 1. Maka, penghapusan premium harus meÂlalui tahapan yang cukup panjang. “Sesuai dengan program revitalisasi kilang, kan yang (kilang) tua-tua ini direvitalisasi secara bertahap,†pungkasnya
Sebelumnya, Pertamina menarÂgetkan premium bisa dihapus dari pasaran mulai tahun 2019. PengÂhapusan tidak dilakukan secara paksa dan tiba-tiba, tergantung dari pergeseran konsumsi BBM di masyarakat.
Agar premium dapat segera diÂhapus, Pertamina berupaya mendoÂrong masyarakat berpindah ke BBM RON 90 atau pertalite yang hargÂanya tak jauh beda dibanding preÂmium, tapi kualitasnya lebih baik.
Persiapan lain yang dilakukan Pertamina untuk menghapus preÂmium dari pasaran ialah mengkonÂversi kilang-kilang yang ada, dari memproduksi premium menjadi menghasilkan pertalite dan bensin RON 92 alias pertamax.
Tata kelola di sektor minyak dan gas (migas) dalam negeri terus dibenahi oleh Kementerian ESDM. Dalam 20 bulan terakhir, berbÂagai terobosan telah dilakukan unÂtuk membuat sektor migas lebih transparan, akuntabel, dan efisien.
Reformasi diawali dengan pemÂberhentian Edy Hermantoro sebÂagai Dirjen Migas pada 4 November 2014. Ini dilakukan untuk membuat birokrasi lebih bersih, transparan, dan cepat.
Lalu pada 14 November 2014 dibentuk Tim Reformasi Migas yang dipimpin oleh Faisal Basri. Tim ini dibentuk untuk mencari solusi menghapus permainan mafia miÂgas. Pada Mei 2015 lalu, tim yang diketuai Faisal Basri ini telah memÂberikan 12 rekomendasi, di antaranÂya adalah pembubaran Petral.
Petral, anak usaha Pertamina di Singapura yang mengatur imÂpor minyak mentah dan bahan baÂkar minyak (BBM), pun akhirnya dibubarkan. Menurut perhitungan Pertamina, ada penghematan sebeÂsar Rp 8,5 triliun hingga 2017 berÂkat pembubaran Petral, pengadaan minyak dan BBM jadi lebih transparÂan dan akuntabel. Demikian dikutip dari ‘Memori Akhir Jabatan MenÂteri ESDM Sudirman Said’, Selasa (9/8/2016). Sudirman Said menjabat sebagai Menteri ESDM pada 27 OkÂtober 2014 sampai 27 Juli 2016.
Terobosan yang tak kalah pentÂing adalah penghapusan subsidi BBM jenis premium mulai 1 JanuÂari 2015 lalu. Penghapusan subsidi membuat anggaran lebih sehat, efisien, dan tepat sasaran. Dana raÂtusan triliun rupiah bisa dialihkan ke sektor-sektor produktif.
Subsidi energi yang selama 2010-2014 mencapai Rp 1.340 triliÂun kini bisa dipangkas menjadi kira-kira Rp 561 triliun untuk 2015-2019. Capaian positif lain dalam reformasi migas adalah pengoperasian kemÂbali kilang TPPI. Kilang TPPI memÂbuat impor BBM menurun hingga US$ 2,2 miliar per tahun, devisa bisa dihemat.
Pemerintah melalui Perpres Nomor 146 Tahun 2015 juga menÂdorong pembangunan kilang-kilang baru untuk menekan impor BBM. Rencananya akan dibangun 3 kilang baru dan revitalisasi 4 kilang sampai dengan tahun 2025.(*)
Bagi Halaman