SEBAGAI extraordinary crime, korupsi harus diperlakukan tidak setara dengan kejahatan biasa. Pemberatan hukuman mesti diberlakuÂkan kepada koruptor untuk menghadirkan efek jera. Sebaliknya, peringanan hukuman melalui remisi hanya akan menghilangkan efek jera dan membuat pemberantasan korupsi gagal.
Rencana Kementerian Hukum dan HAM unÂtuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan PemaÂsyarakatan dikhawatirkan menciptakan iklim semacam itu.
Dalam draf revisi PP yang kembali diwaÂcanakan beberapa hari terakhir, ketentuan justice collabolator sebagai syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika dihilangkan. Dengan ketenÂtuan itu, para terpidana kasus korupsi dapat memperoleh remisi dengan syarat pokok berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidana. Kita menyesalkan Kementerian Hukum dan HAM yang untuk kesekian kalinya mengupayakan perubahan PP ke arah yang kontraproduktif.
Bukan kali ini saja wacana peringanan huÂkuman terhadap terpidana kejahatan luar biasa digulirkan Kementerian Hukum dan HAM. SeÂjak menjabat sebagai menteri hukum dan HAM pada 2014, Yasonna Laoly tidak lelah-lelahnya mencoba mengegolkan revisi PP itu.
Kita tidak memahami mengapa Yasonna meÂmiliki kecenderungan semacam itu. Beruntung, publik terus mencermati dan menolak rencana revisi PP tersebut. Seirama dengan posisi pubÂlik, kita pun menolak keras rencana revisi PP tersebut. Kita justru mempertanyakan alasan sesungguhnya di balik upaya Menkum dan HAM Yasonna untuk mengegolkan revisi aturan yang bakal menggembirakan para koruptor.
Selama ini, Menkum dan HAM Yasonna berdalih bahwa jika seorang narapidana kasus korupsi hartanya telah disita negara, memÂbayar denda, dan memperoleh hukuman serta berkelakukan baik, yang bersangkutan berhak mendapatkan remisi sesuai ketentuan perunÂdang-undangan.
Kita jelas tidak sependapat dengan arguÂmen Menkum dan HAM. Jika kebijakan itu diÂimplementasikan, hilanglah esensi pemberatan hukuman terhadap pelaku korupsi sebagai extraordinary crime. Dengan memasukkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa saja, kita masih kesulitan memberantas korupsi. Apa jadinya jika level kesiagaan dalam pemberanÂtasan kasus itu kita turunkan. Karena itu, kita mengingatkan publik untuk terus mengawal wacana ini. Jangan sampai kebijakan itu jadi diÂimplementasikan.
Harus kita tekankan bahwa revisi PP itu berÂtentangan dengan agenda pemerintahan Jokowi- JK yang tercantum dalam Nawa Cita ke-4, yakni menolak negara lemah dengan melakukan reforÂmasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. PeringanÂan hukuman terhadap koruptor, seperti muatan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012, sama artinya meniadakan substansi Nawa Cita ke-4 tersebut. Akankah Yasonna berkeras melakukannya? Kita tunggu drama selanjutnya.(*)
Bagi Halaman