Yuska Apitya Aji

[email protected]

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai implementasi otonomi di sebagian daerah memberatkan dunia usaha. Pasalnya, melalui otonomi, pemerintah daerah (pemda) memiliki ruang untuk menyusun regulasi yang tak jarang malah menghambat iklim investasi.

“Faktanya, sampai hari ini, di banyak kasus, otonomi daerah masih merupakan faktor negatif dalam perekonomian,” tutur Direktur Eksekutif Apindo Agung Pambudi, Rabu (19/10/2016).

Agung mencontohkan, beberapa perda terkait ketenagakerjaan di daerah masih ada yang tumpang tindih dengan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Akibatnya, objektif dari UU 13 yang ingin menciptakan hubungan ketenagakerjaan dan industrial yang kondusif gagal tercapai.

Misalnya, perda-perda yang mengatur struktur Upah Minimum Pekerja (UMP) daerah di atas kemampuan pelaku usaha. Penyebabnya, dialog antara pelaku usaha, serikat pekerja, dan pemerintah (tripartit) tidak optimal. Sementara, sesuai UU Ketenagakerjaan putusan besaran upah harus berdasarkan hasil dialog tiga pihak. “Dalam 10 tahun terakhir, mana sih putusan dari UMP yang mengikuti putusan dari sidang tripartit itu? Sebagian besar hasil sidang diabaikan dan putusan lebih diambil dari putusan politik kepala daerah,” keluhnya.

Dampak dari struktur UMP yang di luar kemampuan pelaku usaha, antara lain pelaku usaha tidak bisa meningkatkan investasi, pekerja tidak bisa meningkatkan keahlian dengan program pengembangan sumber daya manusia yang memadai, dan pencari kerja juga kesulitan mencari peluang rekrutmen baru. “Sekarang waktu tunggu untuk mendapatkan kerja bagi SMP, SMA, maupun perguruan tinggi menjadi lebih panjang,” ujarnya.

Selain itu, ada juga perda-perda yang mengatur tentang pungutan pajak atau restribusi yang menambah biaya pengurusan izin usaha. Misalnya, berdasarkan Kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan Izin Usaha Industri (IUI) di beberapa daerah masih berbayar, salah satunya di Kota Serang (Banten). Sesuai Perda Kota Serang (Banten) Nomor 4 Tahun 2009, biaya pengurusan SIUP ditetapkan sebesar Rp100 ribu hingga Rp300 ribu. Sementara biaya pengurusan TDP di kisaran Rp500 ribu hingga Rp1 juta.

BACA JUGA :  Menu Makan Siang dengan Sup Ayam Kembang Tahu yang Simple dan Menggugah Selera

Padahal, sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39 Tahun 2011 pengurusan SIUP, TDP, dan IUI dinyatakan tidak dipungut biaya alias gratis.

Karenanya, Agung berharap baik pemerintah pusat dan pemda harus mengawal agar otonomi daerah bisa memberikan dampak positif ke perekonomian. Dalam hal ini, otonomi daerah harus bisa meningkatkan akses masyarakat untuk meningkatkan kapasitas ekonominya. “Peningkatan investasi dan keterserapan tenaga kerja bisa terjadi kalau iklim investasi di masing-masing daerah menjadi lebih baik dan dijamin dalam perda-perdanya,” ujarnya.

Sementara itu, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyatakan pungutan liar (pungli) dalam proses perizinan masih ditemukan di daerah. Hal ini kontradiktif dengan semangat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dalam dua tahun terakhir berupaya memperbaiki iklim investasi.

Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mencontohkan, berdasarkan hasil kajian lapangan tim peneliti KPPOD, adanya Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU) di beberapa daerah masih menjadi syarat administrasi untuk pengurusan izin tertentu, misalnya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Badan.

BACA JUGA :  Menu Simple dengan Tumis Pakcoy Wijen yang Sedap Bikin Ketagihan

Proses pengurusan SKDU memakan biaya yang besarnya di tiap daerah berbeda. Di Medan, Sumatera Utara pengurusan SKDU menghabiskan Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Sementara di Bandung, Jawa Barat sebesar Rp200 ribu, dan Surabaya, Jawa Timur harus membayar Rp500 ribu. Ironisnya, pemerintah kota Medan dan Surabaya sebenarnya sudah menghapus SKDU sebagai syarat untuk mendapatkan izin. “Sampai hari ini kita tidak bisa menemukan dasar hukum pungutan dalam proses pengurusan SKDU,” tutur Robert, Rabu (19/10/2016).

Contoh lainnya, lanjut Robert, penyertaan Surat Keterangan Fiskal (SKF) dalam proses perizinan di Kota Manado, Sulawesi Utara. SKF merupakan surat yang diterbitkan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Manado yang berisi keterangan mengenai pemenuhan kewajiban Wajib Pajak untuk pembayaran Pajak Reklame, Pajak Air Tanah, dan Retribusi Kebersihan.

Selain tidak memiliki dasar hukum baik di tingkat nasional dan daerah, pengurusan SKF juga menambah prosedur dan waktu proses perizinan. Tak hanya itu, proses ini juga memakan biaya bagi pelaku usaha. “Besarnya biaya pembuatan SKF sesuai dengan item yang tercantum di dalamnya seperti pajak reklame dan resribusi kebersihan. Usaha yang baru mau muncul sudah dibebani oleh hal-hal itu,” ujarnya. Selain pungli, Robert juga melihat masih ada pungutan yang sudah dihapuskan di tingkat pusat tetapi masih berlaku di daerah. “Gimana mau sejahtera kalau orang mau usaha dipungut terus?,” ujarnya.

Melihat hal itu, Robert meminta pemerintah pusat meningkatkan pengawasannya ke daerah. Dengan demikian, iklim investasi di Indonesia ke depan bisa lebih baik.(*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================