ahokIsu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) tampaknya belum terlalu ampuh untuk menggempur dominasi pasangan calon gubernur-wakil gubenur DKI Jakarta Ahok-Djarot. Terbukti hasil survei terakhir menunjukkan Ahok-Djarot masih berada di atas.

Rilis survei Pilgub DKI Jakarta 2017 yang diluncurkan Skala Survei Indonesia (SSI) kemarin menunjukkan elektabilitas Ahok-Djarot masih 33,8%, jauh di atas Agus Hari Murti Yudhoyono-Sylviana Murni (19,6%) dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (18,8%).

Elektabilitas Ahok-Djarot memang mengalami penurunan sejak satu bulan terakhir ini. Terutama sejak mencuatnya skandal penghinaan terhadap ayat Alquran Surat Al-Maidah 51 yang ditudingkan kepada Ahok, sikap antipati terhadap mantan pasangan Joko Widodo ini terus menggelembung, khususnya dari umat Islam.

 .
Namun kalau dilihat dari tingkat penurunan elektabilitas Ahok-Djarot ini, terkesan bahwa isu agama tak terlalu berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan perolehan suara pasangan ini. Tafsir umat Islam terhadap ucapan Ahok tentang isi surat Al-Maidah ayat 51 ini tak seragam. Kaum Nahdliyin menganggap apa yang diucapkan Ahok tersebut bukanlah penghinaan, sementara kalangan Muhammadiyah, MUI, dan organisasi Islam lainnya menganggap apa ucapan Ahok tentang Al-Maidah 51 sudah melampaui batas.

BACA JUGA :  MUDIK MENDIDIK KITA UNTUK GAS POL SEKALIGUS SABAR DALAM HIDUP INI

Reaksi di lapangannya pun terbelah dua. Pertama, kelompok pembela Ahok. Kedua, kelompok pengutuk Ahok. Kelompok kedua inilah yang gencar melakukan perlawanan lewat demo-demo besar yang selama ini tak pernah terjadi di Indonesia. Boleh jadi efek dari gelombang massa penentang Ahok ini belum optimal. Biasanya efek pengaruh yang terkait penghinaan ajaran agama, memang membutuhkan rentang waktu yang agak panjang. Umat Islam memang cenderung memaafkan dan melupakan hal seperti ini.

Data survei ini memang masih akan terus berkembang. Dan, hasilnya belum mencerminkan realitas yang susungguhnya. Apalagi survei ini dilakukan dengan wawancara pada rentang waktu yang cukup pendek, yakni tanggal 6-11 Oktober 2016 di seluruh wilayah DKI, dengan metodologi multistage random sampling. Responden 800 orang. Margin of error 3,46% dan tingkat kepercayaan 95%.

Dibanding bulan Februari 2016, tingkat elektabilitas Ahok-Djarot memang turun 13,3%. Pada Februari 2016, tingkat elektabilitas pasangan ini masih sebesar 47,1%. Sementara pada bulan Oktober 2016 tingkat elektabilitasnya 33,8%.

BACA JUGA :  MUDIK MENDIDIK KITA UNTUK GAS POL SEKALIGUS SABAR DALAM HIDUP INI

Begitu juga secara personal tingkat elektabilitas Ahok mengalami penurunan, jika dibandingkan tingkat elektabilitas pada bulan Februari 2016, sebesar 53,1%. Penurunan itu sebesar 19,5%.

Jika dicermati lebih dalam, penurunan elektabilitas Ahok ini sudah terjadi jauh sebelum skandar surat Al-Maidah 51 mencuat. Ini berarti juga hancurnya tingkat keterpilihan Ahok lebih banyak disebabkan oleh perangai Ahok yang terkesan kasar, ucapannya sangat provokatif, bahkan sering menyerang lawannya secara terbuka.

Praktik kepemimpinan yang dikembangkan Ahok ini memang tidak mewakili budaya mayoritas penduduk Jakarta. Sebagian besar penduduk Jakarta memang mengingkan adanya pembenahan yang radikal atas kesemerautan Jakarta. Namun sebagian besar juga tak menghendaki pembenahan itu dilakukan dengan cara yang terkesan barbar dan tak berbudaya.

Akan seperti apa akhir cerita dari Pilgub DKI Jakarta ini? Mari kita cermati, apakah Ahok-Djarot akan tetap memenangkan pemilihan gubernur atau harus menelan pil pahit efek skandar Al-Maidah 51?

 

============================================================
============================================================
============================================================