Oleh: Bahagia, SP., MSc. Sedang Menempuh Program Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB dan Dosen Tetap Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Negara telah mengelurkan dana triliun rupiah untuk menangani pasca bencana. Untuk memulihkan bencana di kota Bima (Nusa Tenggara Barat) pemerintah mengelurkan dana berkisar 1 triliun rupiah. Pemerintah juga telah mengeluarkan dana sebanyak 30 triliun rupiah untuk penanganan bencana tahun (2014). Pemerintah kembali mengeluarkan dana mencapai 235 triliun atau USD 16,5 miliar pada tahun (2015).
Kerugian akan bertambah lagi bersamaan dengan kerusakan lingkungan ekologis. Sesuai dengan fakta empiris dimana bencana seperti banjir, longsor, angin puting beliung, dan kekeringan belum berhenti. Diantara bencana tadi, bencana banjir yang termasuk bencana yang paling sering terjadi. Bencana banjir menimbulkan kerugian bagi manusia. Sawah terendam banjir sehingga produksi pertanian mengalami kegagalan.  
Harga sayuran seperti cabai dan bawang merah melambung tinggi. Petani gagal mencapai kesejahteraan. Konsumen protes dengan harga sayuran dan pangan yang tinggi. Kerugian secara ekonomi dan sosial diatas harusnya menjadi pelajaran penting.  Bukan menumbuhkan kepasrahan sehingga tidak melakukan antisipasi yang optimal. Terbukti dengan bencana banjir yang belum bisa diatasi. Setidaknya intensitas banjir berkurang setiap tahun.
Masalahnya terletak pada kesalahan dalam metode penanganan bencana. Penangangan bencana dan dana penanganan bencana selalu berfokus setelah terjadi bencana. Korban jiwa berjatuhan terlebih dahulu, rumah ambruk, dan air sudah menggenangi perkotaan. Setelah itu baru dilakukan penanganan. Masalah bencana juga menjadi keuntungan profit. Termasuk proyek jadi proyek bencana makin prospek.
Konsultan bencana dan mengaku ahli bisa saja muncul. Kecurangan dalam penanganan bencana bisa terjadi. Akhirnya bencana selalu diinginkan terjadi karena banyak uang dari bencana. Meskipun secara etika kurang baik sebab dapat rezeki dari orang yang sedang bersedih karena terkena bencana. Padahal tidak sulit menangani bencana jika ingin bencana itu tidak terjadi. Akar masalah terjadi bencana karena ekosistem di alam tidak berfungsi dengan baik.
Ekosistem danau dan rawa tertimbun oleh pembangunan. Sungai diperkotaan penuh sampah, pinggir sungai ditembok dengan alasan agar tidak terjadi longsor dan banjir. Pinggir sungai yang telah ditempok menyebabkan menurunnya fungsi sungai untuk menyerap air hujan. Air langsung terjun dan masuk ke sungai. Mengingat buruknya kondisi lingkungan ini maka pemerintah mengubah cara penanganan bencana.
Pengendalian bencana dimulai sebelum terjadi bencana. Alokasikan dana untuk antisipasi bencana dengan cara memperbaiki kondisi ekologis dan sosial manusia. Dibandingkan dengan menghaburkan uang yang triliun rupiah untuk penanganan pasca bencana. Penanganan bencana akan optimal jika penanganan dilakukan dengan cara memperbaiki ekosistem. Korban jiwa makin rendah dan kerusakan rumah tidak mengalami kerusakan parah.
Lebih baik dana yang banyak tadi digunakan untuk membeli bibit pohon. Andai realisasi itu dilakukan maka sudah banyak pohon yang bisa ditanam. Sudah terdapat taman-taman rerumputan dan daerah resapan pada rumah warga jika dana digunakan untuk hal ini. Kebanyakan kesadaran warga untuk memiliki taman hijau, daerah resapan dan kepemilikan pohon sangat rendah.
Akhirnya banyak rumah yang tidak dilengkapi dengan pohon meskipun tidak ada ketentuan agar setiap rumah mempunyai pohon. Hanya saja keberadaan pohon dan daerah resapan pada sebuah rumah mendukung untuk menyimpan air hujan. Aliran permukaan dan buangan air ke saluran makin berkurang. Cara ini secara langsung dapat mengurangi bencana banjir.
Selain itu, pemerintah sebaiknya menganggarkan uang untuk gerakan pagar hijau. Saat perilaku ekologis seperti ini diwujudkan maka secara berangsur-angsur intensitas bencana makin berkurang. Kedepannya makin sedikit pula intensitas banjir dan longsor. Untuk menangani bencana ini maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Pertama, melakukan riset berupa survey untuk melihat warga mana saja yang sudah bersedia ditanami pohon didepan rumahnya. Jika sudah dapat maka lakukan penanaman secara bertahap. Mulai dari level RT, Desa, Kecamatan dan akhirnya diperluas jadi gerakan nasional. Sekaligus warga mana saja yang masih berkemungkinan luasan halaman masih tersedia.
Selama ini gerakan ini sudah ada tetapi tidak berkelanjutan dan terbukti dari minimnya kepemilikan tanaman keras didepan rumah. Padahal setiap rumah bisa memiliki satu atau dua pohon buah-buahan. Secara ekonomi akhirnya masyarakat juga dapat berdaya karena halaman rumah pusat taman buah-buahan. Sekurang-sekurangnya mereka bisa memanfaatkan buah dari pohon yang ditanam untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Kedua, pendidikan bencana pada sekolah. Sekolah sebagai pusat atau tempat mendapatkan ilmu pengetahuan. Dari sini dimulai pemberian pengetahuan ekologis kepada siswa. Pengetahuan terhadap kebencanaan akan mendorong perilaku ramah ekologis. Pendidikan bisa dilakukan melalui literasi sekolah. Literasi yaitu gerakan membaca buku.
Berikan buku kebencanaan yang bergambar. Terutama bagi anak-anak yang masih duduk pada bangku TK (Taman kanak-kanak) dan sekolah Dasar (SD). Anak-anak dengan umur yang dini lebih mudah dibentuk karakternya. Banyaknya mereka membaca buku kebencanaan akan menumbuhkan perilaku dan karakter ekologis.
Hanya buku yang digunakan harus bukan buku yang kaku. Biasanya anak sekolah tingkat SD dan TK kurang menyukai buku yang serius. Lebih menyukai buku-buku cerita, komik dan literasi audio visual. Tentu sangat penting untuk mewujudkan anak agar mau membaca buku. Modifikasi materi kebencanaan seperti buku disertai banyak gambar bencana.
Biasanya anak-anak tertarik dengan gambar yang banyak dan berwarna warni. Selain itu cetak buku yang berbentuk komik kebencanaan. Perbanyak juga buku-buku cerpen kebencanaan. Tentu kalau ini yang dilakukan oleh pemerintah maka gerakan literasi ekologis dan kebencanaan dapat terwujudkan.
BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN
============================================================
============================================================
============================================================